Pada peraturan
perpajakan sudah memiliki aturan tersendiri mengenai transfer pricing. Hal ini didasarkan pada kegiatan transaksi pihak
yang memiliki hubungan istimewa. Pada umumnya, transaksi yang memiliki hubungan
istimewa akan selalu mengandung unsur transfer
pricing. Oleh karena itu pajak memiliki peraturan tersendiri untuk
meminimalkan dampak negatif dari tranfer
pricing. Melalui transfer pricing,
perusahaan-perusahaan yang tergabung pada satu asosiasi mampu melakukan
penghindaran pajak. Hal ini dengan menentukan suatu daerah tertentu sebagai
pusat beban dan daerah lainnya sebagai pusat laba. Dengan cara ini, asosiasi
akan memiliki laba secara global.
Berdasarkan UUD
Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 18 Ayat 3 "Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan
utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen,
metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya."
Berikut adalah metode yang dapat digunakan untuk menentukan kembali harga transfer yang wajar:
1.
Metode Harga Pasar Sebanding (Comparable
Uncuntrolled Price Method atau CUP)
Metode ini dapat
dilakukan jika perusahaan juga melakukan transaksi kepada pihak ketiga di luar
entitas yang memiliki hubungan istimewa.
2.
Metode Harga Jual Minus (Sales Minus /
Resale Price Method atau RPM)
Metode ini biasa
digunakan pada perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Penentuan harga
pasar wajar dengan metode harga jual minus dilakukan dengan mengurangkan suatu
mark up wajar dari harga jual barang yang sama pada mata rantai berikutnya.
Mark up wajar diperoleh dengan membandingkannya dengan transaksi yang tidak ada
hubungan istimewa.
Metode ini dapat
dipakai dalam hal :
- Tidak ada transaksi dengan pihak yang tidak ada hubungan istimewa yang dapat digunakan sebagai pembanding, misalnya pada sistem pemasaran dengan keagenan tunggal.
- Terdapat data harga penjualan kembali barang yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa.
- Tidak terdapat proses perubahan barang yang menambah nilai.
- Pihak pembeli dan penjual dalam hubungan istimewa tidak menambah harga yang besar pengaruhnya terhadap nilai barang tersebut.
3.
Metode Harga Pokok Plus (Cost Plus
Metohod atau CPM)
Metode ini
biasanya digunakan untuk perusahaan manufaktur yang menjual produknya kepada
pihak hubungan istimewa agar dilakukan proses lebih lanjut. Perhitungan harga
wajar dengan metode ini dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar
kepada biaya produksi.
Data persentase
laba kotor wajar dapat diperoleh dari :
- Penjualan kepada pihak ketiga yang independen dari penjual yang juga melakukan penjualan terhadap afiliasinya.
- Penjualan oleh pihak-pihak yang independen.
- Komisi yang diterima oleh suatu agen pembelian dalam hal fungsi penjualan yang dilakukan oleh penjual adalah sama dengan fungsi penjualan yang dilakukan oleh agen pembelian tersebut.
- Persentase laba kotor dari perusahaan sejenis.
4.
Metode Profit Split (PSM)
Metode ini
digunakan untuk menentukan laba yang akan dibagi antara anggota grup dari
transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Selanjutnya, laba tersebut dibagi
antara perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dengan dasar pertimbangan
ekonomis sehingga pembagian itu mencerminkan laba seandainya transaksi itu
tidak dipengaruhi hubungan istimewa.
5.
Metode Transactional Net Margin
(TNMM)
Metode ini
digunakan untuk menetapkan persentase laba bersih yang didasarkan atas
perbandingan laba bersih terhadap biaya-biaya, laba bersih penjualan atau laba
bersih terhadap aktiva yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar