Senin, 21 Desember 2015

Siklus Akuntansi Kegiatan Konstruksi

Pada kesempatan ini kita akan membahas siklus akuntansi untuk usaha di bidang konstruksi. Siklus akuntansi konstruksi yang akan kita bahas adalah akuntansi konstruksi dengan menggunakan metode prosentase penyelesaian. Siklus akuntansi yang kita bahas akan diberikan dua contoh yang kemungkinan akan terjadi. Agar lebih memahami, kita langsung ke contoh sebagai berikut :

CV Togar merupakan badan usaha yang bergerak dalam kegiatan usaha konstruksi. Perusahaan memperoleh kontrak konstruksi dengan rincian sebagai berikut :
Nilai Kontrak (Include PPN)
Rp   990.000.000,00
Uang Muka Terima (40%)
Rp   396.000.000,00

Berdasarkan data di atas maka Perusahaan akan melakukan jurnal atas penerimaan uang muka dengan penjelasan sebagai berikut:
 Dari jurnal awal tersebut, kita akan membahas siklus akuntansi konstruksi dari dua kondisi sebagai berikut:

1. Prosentase Penyelesaian Tahap Pertama Lebih Besar Dari Uang Muka Terima
Kondisi pertama ini disesuaikan dengan kontrak perjanjian atas konstruksi sebagai berikut:
Keterangan
Prosentase Penyelesaian
Penyelesaian Tahap I
  50%
Penyelesaian Tahap II
100%

a. Siklus akuntansi pada saat Penyelesaian Tahap I dapat dijelaskan sebagai berikut :

b. Siklus akuntansi pada saat Penyelesaian Tahap II dapat dijelaskan sebagai berikut :

c. Analisis secara keseluruhan atas siklus akuntansi konstruksi dapat dejelaskan sebagai berikut :

2. Prosentase Penyelesaian Tahap Pertama Lebih Kecil Dari Uang Muka Terima
Kondisi pertama ini disesuaikan dengan kontrak perjanjian atas konstruksi sebagai berikut:
Keterangan
Prosentase Penyelesaian
Penyelesaian Tahap I
  10%
Penyelesaian Tahap II
  50%
Penyelesaian Tahap II
100%

a. Siklus akuntansi pada saat Penyelesaian Tahap I dapat dijelaskan sebagai berikut :
b. Siklus akuntansi pada saat Penyelesaian Tahap II dapat dijelaskan sebagai berikut :

c. Siklus akuntansi pada saat Penyelesaian Tahap III dapat dijelaskan sebagai berikut :
d. Analisis secara keseluruhan atas siklus akuntansi konstruksi dapat dejelaskan sebagai berikut :


Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca dalam memahami siklus akuntansi untuk kegiatan usaha dalam bidang konstruksi.


Selasa, 03 November 2015

Hutang VS Modal (Pajak)

Seperti yang sering dibicarakan banyak pihak. Bahwa tahun 2015 adalah tahun pembinaan wajib pajak. Jadi wajar muncul beberapa peraturan yang cukup mempengaruhi aktivitas perpajakan di tahun 2015. Dari pembebasan denda kekurangan pajak, utang atas modal, sampai pada penilaian kembali aset tetap. Tentu juga masih banyak yang lainnya.

Pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai peraturan  PMK Nomor 169/PMK.010/2015 mengenai perbandingan hutang dengan modal. Memahami suatu peraturan perpajakan, mari kita mulai dari subjek pajak nya yang terikat atas peraturan ini. Subjek pajak yang diatur pada peraturan ini adalah Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham. Dengan demikian, berarti bentuk badannya sudah jelas berupa Perseroan Terbatas (PT). Oleh karena ini beberapa Wajib Pajak Badan seperti koperasi, CV, dan firma terbebas dari peraturan ini apa lagi Wajib Pajak Perorangan.

Meskipun demikian, terdapat beberapa Wajib Pajak Badan yang memang modalnya terbagi atas saham namun tidak terikat atas peraturan ini yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Mengingat peraturan ini mengenai perbandingan antar utang atas modal. Maka ada perlunya kita membahas sedikit mengenai makna utang dan modal. Utang yang dimaksud pada peraturan ini merupakan utang jangka pendek dan utang jangka panjang yang memiliki bunga. Kenapa ada keterangan yang memiliki bunga??? Karena pada peraturan ini, pinjaman tanpa bunga dikelompokkan menjadi kelompok modal. Modal sendiri pada peraturan ini merupakan modal yang sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia.

Objek pajak pada peraturan ini menuju pada biaya pinjaman yang diperkenankan dalam memperhitungkan taksiran penghasilan kena pajak (PKP). Berangkat dari perbandingan hutang atas modal pada peraturan ini sebesar 4 : 1, maka besarnya biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Contoh 1:
Pada tahun 2016, PT Togar memiliki komposisi hutang dan modal sebagai berikut:
Dari data di atas, maka kita akan menghitungkan perbadingan hutang atas modal sebagai berikut:
Kita sudah mengetahui perbandingan hutang atas modal pada PT Togar sebesar 7 : 1, hal ini jauh di atas peraturan perbandingan hutang atas modal sebesar 4 : 1. Pada tahun 2016, perusahaan melakukan pembayaran biaya bunga dengan rincian sebagai berikut:

Berdasarkan data tersebut dan peraturan perpajakan ini, maka beban bunga yang dapat diperhitungkan untuk mengukur taksiran penghasilan kena pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
Setelah dihitung berdasarkan peraturan ini, maka beban bunga yang diperkenankan untuk perhitungan taksiran penghasilan kena pajak sebesar Rp 506.000.000,00. Maka sisah biaya bunga pinjaman sebesar Rp 379.500.000,00 akan dikoreksi fiskal positif.

Contoh 2:
Salah satu ketentuan dari peraturan ini adalah wajib pajak badan yang memiliki penghasilan final dikecualikan dari subjek pajak PMK Nomor 169/PMK.010/2015. Oleh karena itu, jika pada PT Tigor seandainya terdapat penghasilan final sebesar Rp 780.000.000,00 dari total penghasilan selama tahun 2016 sebesar Rp 2.600.000.000,00. Maka biaya bunga pinjaman yang diperkenankan sebagai dasar pengurang penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut:

Dari dua contoh di atas diharapkan kita dapat lebih paham mengenai peraturan perpajakan mengenai perbandingan hutang atas modal. Namun sebagai Wajib Pajak yang cerdas, sebaiknya kita juga harus bijak dalam mengambil tindakan untuk menghadapi peraturan ini. Mengingat peraturan perbandingan hutang usaha atas modal sebesar 4 : 1 berlaku untuk tahun 2016, terdapat beberapa alternatif yang dapat di ambil agar kita dapat membebankan seluruh biaya bunga pinjaman yang telah kita keluarkan. Cukup besar juga bukan biaya bunga yang seharusnya dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, namun harus dikoreksi fiskal karena peraturan ini. Apa lagi perusahaan tidak memiliki deposito (peraturan perpajakan terkait bunga pinjaman, hutang, dan deposito).

Dari semua alternatif yang ditawarkan pada intinya mayoritas bertujuan untuk meningkatkan jumlah modal. Sehingga perbandingan hutangnya tidak terlalu jauh dari jumlah modal yang dimiliki. Mengingat perkembangan peraturan perpajakan tahun 2015, sepertinya revaluasi aset tetap merupakan solusi yang lebih banyak disoroti. Dengan melakukan revaluasi aset tetap, selisih revaluasi akan menambah jumlah modal dengan nama akun surplus peningkatan nilai aset tetap. Bahkan perpajakan memberikan fasilitas yang cukup menguntungkan dengan munculnya peraturan PMK Nomor 191/PMK.010/2015 mengenai penilaian kembali aktiva tetap. Jika kita rangkum secara singkat, keuntungan revaluasi aktiva tetap sebagai berikut:
  1. Tampilan hutang atas modal dari perusahaan menjadi jauh lebih baik sehingga memungkinkan perusahaan untuk membebankan seluruh biaya bunga pinjaman terkait peraturan ini.
  2. Dengan diterbitkannya peraturan Nomor 191/PMK.010/2015, pajak atas revaluasi aset tetap menjadi jauh lebih ringan jika dilakukan di tahun 2015 (3% untuk permohonan revaluasi yang diajukan sebelum 31 Desember 2015, 4% untuk permohonan revaluasi yang diajukan antara tanggal 1 Januari 2016 s/d 30 Juni 2016, dan 6% untuk permohonan revaluasi yang diajukan antara tanggal 1 Juli 2016 s/d 31 Desember 2016).
  3. Atas aset tetap yang telah direvaluasi, perusahaan dapat menghitung dan mengakui biaya penyusutan yang lebih dari sebelum revaluasi sebagi pengurang penghasilan kena pajak.

Selasa, 18 Agustus 2015

Akuntansi Sewa Guna Usaha Bagi Lessee

Pada kesempatan ini, kita akan mempelajari akuntansi Sewa Guna Usaha atau Sewa Pembiayaan bagi pihak Lessee. Pihak Lessee adalah pihak yang menggunakan jasa pembiayaan untuk memperoleh aset. Sewa guna usaha berbeda dengan sewa biasa karena terdapat hak opsi. Hak opsi bisa diartikan sebagai suatu hak untuk membeli aset pada akhir sewa. Pada hak opsi sudah ditentukan nilai aset yang harus dibayar oleh pihak lessee.

Agar lebih paham, kita langsung ke contoh. PT Tigor akan melakukan pembelian aset dengan menggunakan jasa sewa guna usaha yang disediakan oleh PT Amang. Jangka waktu sewa guna usaha telah disepakati selama 5 tahun dengan tingkat bunga 11%. Setiap tahun PT Tigor melakukan pembayaran sebesar Rp 4.650.000,00 yang didalamnya termasuk biaya asuransi sebesar Rp 200.000,00. Kedua belah pihak juga telah sepakat bahwa diakhir masa sewa, PT Tigor dapat memiliki aset tersebut dengan membayar hak opsi sebesar Rp 2.750.000,00. Berdasarkan data di atas, bagaimanakah akuntansi yang akan dilakukan oleh PT Tigor?

Data Perhitungan:
N
:
5 Tahun
i
:
11 %
Angsuran
:
Rp 4.650.000,00
Biaya Asuransi
:
Rp    200.000,00
Dari rincian detail data perhitungan di atas, maka kita akan menentukan nilai kini dari utang sewa guna usaha yang dapat dijelaskan sebagai berikut:


Dari perhitungan tersebut, kita sudah menentukan bahwa nilai utang sewa guna usaha sebesar Rp 19.887.874,00. Dari hasil tersebut maka kita dapat membuat tabel pembayaran angsuran utang sewa guna usaha yang dapat dijelaskan sebagai berikut:


Dari rincian tabel angsuran utang sewa guna usaha yang telah dibuat, maka jurnal akuntansi yang akan dibentuk dari awal pengakuan sampai pada akhir sewa guna usaha dapat dijelaskan sebagai berikut:


Pada jurnal Tahun ke 5 dapat dilihat bahwa PT Tigor melakukan pembayaran sebesar Rp 2.750.000,00 yang merupakan hak opsi untuk memperoleh aset tersebut. Pada beberapa kasus, hak opsi sudah dibayar pada awal perjanjian sebagai uang jaminan sewa guna usaha dengan rincian jurnal sebagai berikut:
Dari rincian jurnal di atas dapat kita lihat beberapa jurnal akuntansi yang berkaitan dengan utang sewa guna usaha. Selain akuntansi utang sewa guna usaha di atas, PT Tigor harus melakukan perlakuan akuntansi aset tetap untuk aset sewa guna usaha tersebut. Hal ini didasarkan pada aspek "substansi mengungguli bentuk" bahwa meski secara pengakuan hukumnya aset sewa guna usaha tersebut belum dimiliki PT Tigor, namun secara ekonomis aset tersebut sudah masuk dalam pengakuan aset tetap. Pengakuan aset tetap dalam hal ini adalah bawah aset tersebut digunakan untuk melakukan kegiatan produksi menyediakan barang atau jasa, atau untuk tujuan administratif dan penggunaanya lebih dari satu periode.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka atas aset sewa guna usaha tersebut dilakukan perhitungan beban penyusutan. Pada pembahasan kali ini juga akan dirincikan beberapa kondisi yang mungkin terjadi pada saat perhitungan beban penyusutan aset sewa guna usaha sebagai berikut:
  1. Jangka Waktu SGU lebih dari Masa Manfaat Aset SGU
  2. Jangka Waktu SGU sama dengan Masa Manfaat Aset SGU
  3. Jangka Waktu SGU kurang dari Masa Manfaat Aset SGU



Penjelasan:
1. Jangka Waktu SGU lebih dari Masa Manfaat Aset SGU
Pada kondisi ini dapat dilihat bahwa sebelum jangka waktu sewa guna usaha, secara estimasi akuntansi masa manfaat aset SGU tersebut sudah habis. Sehingga pada jatuh tempo sewa guna usaha akan melakukan jurnal balik seluruh "akumulasi penyusutan aset SGU" pada "akumulasi penyusutan aset tetap".
2. Jangka Waktu SGU sama dengan Masa Manfaat Aset SGU
Pada kondisi ini dapat dilihat bahwa masa manfaat aset SGU akan habis pada jatuh tempo akhir sewa guna usaha. Sehingga pada jatuh tempo sewa guna usaha akan melakukan jurnal balik seluruh "akumulasi penyusutan aset SGU" pada "akumulasi penyusutan aset tetap".
3. Jangka Waktu SGU kurang dari Masa Manfaat Aset SGU

Pada kondisi ini dapat dilihat bahwa ketika jatuh tempo sewa guna usaha, masa manfaat aset SGU masih tersisa. Sehingga pada jatuh tempo sewa guna usaha akan melakukan jurnal balik "akumulasi penyusutan aset SGU" pada "akumulasi penyusutan aset tetap" hanya sebesar penyusutan yang telah terjadi selama masa sewa guna usaha.

Rabu, 22 Juli 2015

Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun 2015

Pada tahun 2015 telah diterbitkan peraturan mengenai perubahan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Peraturan tersebut terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Bersarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Berdasarkan peraturan tersebut, besarnya PTKP untuk masing-masing status wajib pajak orang pribadi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Keterangan
Besar PTKP
2015
Sebelumnya
Wajib Pajak Sendiri
Rp 36.000.000,00
Rp 24.300.000,00
Status Kawin
Rp   3.000.000,00
Rp   2.025.000,00
Tanggungan
Rp   3.000.000,00
Rp   2.025.000,00
Istri (Penghasilan digabung)
Rp 36.000.000,00
Rp 24.300.000,00


Berikut adalah contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang kemungkinan terjadi di tahun 2015:

Contoh 1:
Kita buat contoh gampang saja untuk memahami dampak dari perubahan PTKP di tahun 2015 ini. Misal gaji seorang karyawan sebesar Rp 3.000.000,00 dengan status tidak kawin tanpa memiliki tanggungan. Maka dampak dari penyesuaian PTKP tahun 2015 dapat dijelaskan sebagai berikut:

Penyesuaian PTKP

Sebelum
Sesudah
Gaji Setahun (Rp 3.000.000,00 x 12 bulan)
Rp 36.000.000,00
Rp 36.000.000,00
Biaya Jabatan 5%
Rp   1.800.000,00 (-)
Rp   1.800.000,00 (-)
Penghasilan Neto
Rp 34.200.000,00
Rp 34.200.000,00
PTKP (TK/0)
Rp 24.300.000,00 (-)
Rp 36.000.000,00 (-)
PKP
Rp   9.900.000,00
         NIHIL

Sebelum diberlakukannya penyesuaian PTKP tahun 2015, atas penghasilannya telah dihitung pajak setahun sebesar Rp 495.000,00 (dari 5% x Rp 9.900.000,00). Sejak bulan Januari sampai dengan Juni, karyawan tersebut telah dipungut PPh Pasal 21 sebesar Rp 247.500,00 (dari 6 : 12 x Rp 495.000,00).

Dapat dilihat, setelah pemberlakuan PTKP yang terbaru pada tahun 2015, karyawan tersebut tidak terutang PPh Pasal 21. Namun karyawan tersebut sudah sempat dipungut sebesar Rp 247.500,00. PPh pasal 21 yang sempat dipungut dapat digunakan untuk kompensasi PPh Pasal 21 atas THR atau PPh Pasal 21 ketika terdapat peningkatan gaji.


Contoh 2:
Contoh kedua akan kita tingkatkan gaji karyawannya. Misal gaji seorang karyawan sebesar Rp 4.000.000,00 dengan status tidak kawin tanpa memiliki tanggungan. Maka dampak dari penyesuaian PTKP tahun 2015 dapat dijelaskan sebagai berikut:

Penyesuaian PTKP

Sebelum
Sesudah
Gaji Setahun (Rp 4.000.000,00 x 12 bulan)
Rp 48.000.000,00
Rp 48.000.000,00
Biaya Jabatan 5%
Rp   2.400.000,00 (-)
Rp   2.400.000,00 (-)
Penghasilan Neto
Rp 45.600.000,00
Rp 45.600.000,00
PTKP (TK/0)
Rp 24.300.000,00 (-)
Rp 36.000.000,00 (-)
PKP
Rp 21.300.000,00
Rp   9.600.000,00

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21:

Penyesuaian PTKP

Sebelum
Sesudah
5% x Rp 21.300.000,00 =
Rp 1.065.000,00
-
5% x Rp   9.600.000,00 =
-
Rp    480.000,00
Pajak yang sudah dipungut :


6 : 12 x Rp 1.065.000,00 =

Rp    532.500,00 (-)

Lebih Bayar
Rp      52.500,00

Meski terjadi penyesuaian besarnya PTKP pada tahun 2015, karyawan tersebut masih tetap terutang PPh Pasal 21 sebesar Rp 480.000,00. Karyawan tersebut juga sudah sempat dipungut PPh Pasal 21 sebesar Rp 532.500,00 selama bulan Januari sampai dengan Juni 2015. Kelebihan pungut PPh Pasal 21 sebesar Rp 52.500,00 dapat digunakan sebagai kompensasi Pajak Penghasilan Pasal 21 tahun berikutnya.


Contoh 3:
Contoh ketiga akan kita tingkatkan lagi gaji karyawannya. Misal gaji seorang karyawan sebesar Rp 5.000.000,00 dengan status tidak kawin tanpa memiliki tanggungan. Maka dampak dari penyesuaian PTKP tahun 2015 dapat dijelaskan sebagai berikut:

Penyesuaian PTKP

Sebelum
Sesudah
Gaji Setahun (Rp 5.000.000,00 x 12 bulan)
Rp 60.000.000,00
Rp 60.000.000,00
Biaya Jabatan 5%
Rp   3.000.000,00 (-)
Rp   3.000.000,00 (-)
Penghasilan Neto
Rp 57.000.000,00
Rp 57.000.000,00
PTKP (TK/0)
Rp 24.300.000,00 (-)
Rp 36.000.000,00 (-)
PKP
Rp 32.700.000,00
Rp 21.000.000,00

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21:

Penyesuaian PTKP

Sebelum
Sesudah
5% x Rp 32.700.000,00 =
Rp 1.635.000,00
-
5% x Rp 21.000.000,00 =
-
Rp 1.050.000,00
Pajak yang sudah dipungut :


6 : 12 x Rp 1.635.000,00 =

Rp    817.500,00 (-)

Kurang Bayar
Rp    232.500,00

Dapat dilihat, bahwa karyawan tersebut tetap terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 meski telah ada penyesuaian PTKP pada tahun 2015. PPh Pasa 21 yang terutang atas gaji karyawan tersebut selama tahun 2015 sebesar Rp 1.050.000,00. Karyawan tersebut juga sudah dipungut PPh Pasal 21 selama bulan Januari sampai dengan Juni 2015 sebesar Rp 817.500,00 dan masih kurang bayar sebesar Rp 232.500,00. Jumlah kekurangan PPh Pasal 21 tersebut dapat dijadikan acuan sebagai dasar pemungutan bulan Juli sampai dengan Desember 2015.