Kamis, 28 Juli 2016

Pengampunan Pajak


Saat ini isu perpajakan yang sedang asik dibicarakan berkaitan dengan pengampunan pajak (tax amnesty). Memang pada pembahasan sebelumnya telah mebuka bahan mengenai tax amnesty berdasarkan RUU Pengampunan Nasional yang keluar pada tahun 2015. Jika kita lihat, ternyata RUU Pengampunan Nasional yang muncul pada tahun 2015 memang sangat berbeda dengan RUU Pengampunan Pajak tahun 2016 ini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Pada RUU Pengampunan Nasional jelas tampak adanya penghapusan sanksi pidana tertentu (kecuali pidana narkotika, perdagangan manusia dan terorisme) yang dihapuskan dan tidak dimunculkan pada pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Tapi penulisan kali ini tidak membahas perbandingan RUU Pengampunan Nasional 2015 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Karena tentunya banyak aspek yang berbeda dari keduanya. Tapi yang jelas pasti bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah sah berlaku saat ini.

Sebelum masuk lebih dalam, kita harus mengetahui sebenarnya apa itu Pengampunan Pajak? Jika kita cermati di Undang-Undang tersebut, kita dapat mendefinisikan secara lebih mudah bahwa Pengampunan Pajak adalah bentuk penghapusan pajak yang seharusnya terhutang (dibayarkan) beserta sanksi pajak yang mengikatnya. Sanksi yang mengikat dalam hal ini adalah sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam bidang perpajakan. Sanksi administrasi muncul sebagai akibat pajak yang seharusnya dibayar ternyata terlambat untuk dibayarkan (ya karna memang tidak pernah dibayar). Sebagai ganti dari fasilitas pengampunan pajak tersebut, wajib pajak harus membayar uang tebusa dengan kepada negera.

Jika kita berbicara mengenai perpajakan, cara paling mudah untuk memahaminya adalah dengan cara mempelajari objek pajak dan subjek pajaknya. Objek dari pengampunan pajak adalah pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM). Ketiga jenis objek pajak yang dihapuskan ini terikat pada harta yang tidak dilaporkan kepada KPP sampai dengan SPT Tahunan Pajak 2015. Sebagai ganti penghapusan ketiga jenis pajak tersebut beserta sanki dalam bidang perpajakannya, maka wajib pajak diwajibkan untuk membayar kepada negara dengan istilah "Uang Tebusan" dengan dasar perhitungan tertentu. Seperti moto pajak yang melekat pada Undang-Undang ini yaitu, "Ungkap, Tebus, Legah".

Uang tebusan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 ini didasarkan pada jumlah harta bersih dikalikan dengan tarif tertentu. Harta bersih disini merupakan jumlah tambahan harta yang belum dilaporkan dikurangi jumlah hutang yang belum terlaporkan. Hutang disini merupakan hutang yang terkait langsung dengan perolehan harta yang belum dilaporkan. Melihat dasar pengenaan perhitungan uang tebusan ini, sepertinya pihak pajak sedikit lebih ketat. Hal ini dikarenakan adanya batasan jumlah hutang yang boleh digunakan masimal 75% untuk Wajib Pajak badan dan maksimal 50% untuk Wajib Pajak orang pribadi dari jumlah Harta tambahan.

Tarif yang digunakan dalam perhitungan uang tebusan juga beragam macam bergantung pada kondisi dan waktu pemanfaatan fasilitas pengampunan pajak. Pertama, terkait Harta tambahan yang ada di dalam negera Indonesia akan dikenakan tarif perhitungan uang tebusan sebagai berikut:
Periode Pemanfaat
Tarif
Juli 2016 - September 2016
2%
Oktober 2016 - Desember 2016
3%
Januari 2017 - Maret 2017
5%
Syarat untuk Harta tamabahan yang ada di Indonesia tidak diperbolehkan dipindahkan ke luar negeri dalam jangka waktu paling singkat 3 tahun. Kedua, terkait Harta tambahan yang ada di luar negara Indonesia akan dikenakan tarif perhitungan uang tebusa sebagai berikut:
Periode Pemanfaat
Tarif
Juli 2016 - September 2016
4%
Oktober 2016 - Desember 2016
6%
Januari 2017 - Maret 2017
10%
Namun, untuk Harta tambahan yang ada di luar negara Indonesia yang akan dimasukan atau diinvestasikan ke dalam Indonesia bisa dikatakan mendapat diskon 50%. Hal ini menjadikan tarifnya sama dengan tarif Harta tambahan yang ada di dalam Indonesia. Tentu ada syaratnya dimana harta yang masuk di Indonesia harus diinvestasikan dengan jangka waktu paling singkat selama 3 tahun dengan jenis investasi yang telah diatur oleh Undang-Undang Pengampunan Pajak.
No
Jenis Investasi
2
Surat Berharga Negera Republik Indonesia
3
Obligasi Badan Usaha Milik Negara
4
Obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah
5
Investasi keuangan pada Bank Persepsi
6
Obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
7
Investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Pemerintah
8
Bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan

Ketiga, terkait Harta tambahan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 akan menggunakan tarif yang berlaku sejak Juli 2016 sampai dengan Maret 2017 sebagai berikut:
Jumlah Harta Tambahan
Tarif
Rp 10.000.000.000 <
0,5%
> Rp 10.000.000.000
2%
Syarat yang mengikat pada jenis tarif ketiga ini dimana penghasilan tersebut hanya bersumber dari kegiatan usaha dan tidak menerima penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja atau pekerjaan bebas.

Sebagai contoh, berikut cara menghitung uang tebusan :

Membahas mengenai pengampunan pajak, terdapat beberapa keuntungan yang akan diperoleh bagi wajib pajak. Tentunya terkait penghapusan sanksi administrasi dan sanksi pinda dalam bidang perpajakan. Namun, pada sisi lain terdapat beberapa hal yang perlu diketahui wajib pajak mengenai syarat mengikuti pengampunan pajak ini. Syarat ini yang bisa dikatakan sedikit kerugian yang ditanggung oleh wajib pajak.
  1. Mencabut permohonan restitusi atau kompensasi pajak lebih bayar yang dimiliki oleh wajib pajak.
  2. Wajib pajak tidak berhak dalam mengkompensasikan kerugian fiskal yang sudah terakumulasi sampai dengan tahun pajak 2015.
  3. Wajib pajak mencabut permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar. (UU No 11 Tahun 2016 Pasal 8 ayat 3 poin f.3)
  4. Wajib pajak secara perpajakan tidak bisa melakukan amortisasi untuk harta tambahan baik dalam bentuk aset berwujud maupun aset tidak berwujud.
Wajib pajak sebaiknya memahami betul akan beberapa hal di atas, sehingga bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan untuk melangkah. Pada aspek laporan keuangan, undang-undang pengampunan pajak sudah mengatur bahwa harta tambahan yang dilaporkan akan dimasukan sebagai saldo laba ditahan (UU No 11 Tahun 2016 Pasal 14 ayat 1). Perlakuannya hampir sama ketika melakukan revaluasi aset tetap, dimana nilai pertambahan aset tetap masuk ke bagian neraca (ekuitas) dan bukan sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi.