Selasa, 03 November 2015

Hutang VS Modal (Pajak)

Seperti yang sering dibicarakan banyak pihak. Bahwa tahun 2015 adalah tahun pembinaan wajib pajak. Jadi wajar muncul beberapa peraturan yang cukup mempengaruhi aktivitas perpajakan di tahun 2015. Dari pembebasan denda kekurangan pajak, utang atas modal, sampai pada penilaian kembali aset tetap. Tentu juga masih banyak yang lainnya.

Pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai peraturan  PMK Nomor 169/PMK.010/2015 mengenai perbandingan hutang dengan modal. Memahami suatu peraturan perpajakan, mari kita mulai dari subjek pajak nya yang terikat atas peraturan ini. Subjek pajak yang diatur pada peraturan ini adalah Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham. Dengan demikian, berarti bentuk badannya sudah jelas berupa Perseroan Terbatas (PT). Oleh karena ini beberapa Wajib Pajak Badan seperti koperasi, CV, dan firma terbebas dari peraturan ini apa lagi Wajib Pajak Perorangan.

Meskipun demikian, terdapat beberapa Wajib Pajak Badan yang memang modalnya terbagi atas saham namun tidak terikat atas peraturan ini yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Mengingat peraturan ini mengenai perbandingan antar utang atas modal. Maka ada perlunya kita membahas sedikit mengenai makna utang dan modal. Utang yang dimaksud pada peraturan ini merupakan utang jangka pendek dan utang jangka panjang yang memiliki bunga. Kenapa ada keterangan yang memiliki bunga??? Karena pada peraturan ini, pinjaman tanpa bunga dikelompokkan menjadi kelompok modal. Modal sendiri pada peraturan ini merupakan modal yang sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia.

Objek pajak pada peraturan ini menuju pada biaya pinjaman yang diperkenankan dalam memperhitungkan taksiran penghasilan kena pajak (PKP). Berangkat dari perbandingan hutang atas modal pada peraturan ini sebesar 4 : 1, maka besarnya biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Contoh 1:
Pada tahun 2016, PT Togar memiliki komposisi hutang dan modal sebagai berikut:
Dari data di atas, maka kita akan menghitungkan perbadingan hutang atas modal sebagai berikut:
Kita sudah mengetahui perbandingan hutang atas modal pada PT Togar sebesar 7 : 1, hal ini jauh di atas peraturan perbandingan hutang atas modal sebesar 4 : 1. Pada tahun 2016, perusahaan melakukan pembayaran biaya bunga dengan rincian sebagai berikut:

Berdasarkan data tersebut dan peraturan perpajakan ini, maka beban bunga yang dapat diperhitungkan untuk mengukur taksiran penghasilan kena pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
Setelah dihitung berdasarkan peraturan ini, maka beban bunga yang diperkenankan untuk perhitungan taksiran penghasilan kena pajak sebesar Rp 506.000.000,00. Maka sisah biaya bunga pinjaman sebesar Rp 379.500.000,00 akan dikoreksi fiskal positif.

Contoh 2:
Salah satu ketentuan dari peraturan ini adalah wajib pajak badan yang memiliki penghasilan final dikecualikan dari subjek pajak PMK Nomor 169/PMK.010/2015. Oleh karena itu, jika pada PT Tigor seandainya terdapat penghasilan final sebesar Rp 780.000.000,00 dari total penghasilan selama tahun 2016 sebesar Rp 2.600.000.000,00. Maka biaya bunga pinjaman yang diperkenankan sebagai dasar pengurang penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut:

Dari dua contoh di atas diharapkan kita dapat lebih paham mengenai peraturan perpajakan mengenai perbandingan hutang atas modal. Namun sebagai Wajib Pajak yang cerdas, sebaiknya kita juga harus bijak dalam mengambil tindakan untuk menghadapi peraturan ini. Mengingat peraturan perbandingan hutang usaha atas modal sebesar 4 : 1 berlaku untuk tahun 2016, terdapat beberapa alternatif yang dapat di ambil agar kita dapat membebankan seluruh biaya bunga pinjaman yang telah kita keluarkan. Cukup besar juga bukan biaya bunga yang seharusnya dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, namun harus dikoreksi fiskal karena peraturan ini. Apa lagi perusahaan tidak memiliki deposito (peraturan perpajakan terkait bunga pinjaman, hutang, dan deposito).

Dari semua alternatif yang ditawarkan pada intinya mayoritas bertujuan untuk meningkatkan jumlah modal. Sehingga perbandingan hutangnya tidak terlalu jauh dari jumlah modal yang dimiliki. Mengingat perkembangan peraturan perpajakan tahun 2015, sepertinya revaluasi aset tetap merupakan solusi yang lebih banyak disoroti. Dengan melakukan revaluasi aset tetap, selisih revaluasi akan menambah jumlah modal dengan nama akun surplus peningkatan nilai aset tetap. Bahkan perpajakan memberikan fasilitas yang cukup menguntungkan dengan munculnya peraturan PMK Nomor 191/PMK.010/2015 mengenai penilaian kembali aktiva tetap. Jika kita rangkum secara singkat, keuntungan revaluasi aktiva tetap sebagai berikut:
  1. Tampilan hutang atas modal dari perusahaan menjadi jauh lebih baik sehingga memungkinkan perusahaan untuk membebankan seluruh biaya bunga pinjaman terkait peraturan ini.
  2. Dengan diterbitkannya peraturan Nomor 191/PMK.010/2015, pajak atas revaluasi aset tetap menjadi jauh lebih ringan jika dilakukan di tahun 2015 (3% untuk permohonan revaluasi yang diajukan sebelum 31 Desember 2015, 4% untuk permohonan revaluasi yang diajukan antara tanggal 1 Januari 2016 s/d 30 Juni 2016, dan 6% untuk permohonan revaluasi yang diajukan antara tanggal 1 Juli 2016 s/d 31 Desember 2016).
  3. Atas aset tetap yang telah direvaluasi, perusahaan dapat menghitung dan mengakui biaya penyusutan yang lebih dari sebelum revaluasi sebagi pengurang penghasilan kena pajak.