Aset pajak tangguhan muncul disebabkan adanya perbedaan temporer antara pencatatan akuntansi secara umum dengan peraturan perpajakan. Sebenarnya jika ada aset pajak tangguhan, maka ada juga kewajiban pajak tangguhan yang akan kita bahas pada lain kesempatan. Aset pajak tangguhan sendiri karena ada beda temporer dimana pencatatan perusahaan lebih besar dari peraturan perpajakan, sehingga memunculkan koreksi fiskal positif.
Kali ini kita melihat aset pajak tangguhan dari sisi pencatatan beban penyusutan. Agar lebih mudah memahami, permasalahan kita persempit. Dimana metode perhitungan penyusutan aset tetap yang dilakukan sudah sama dengan beberapa peraturan pajak, hanya saja masa manfaatnya yang tidak sesuai dengan peraturan perpajakan.
Pada tanggal 2 Januari 2014, perusahaan membeli sepeda motor dengan harga perolehan sebesar Rp 12.000.000,00. Perusahaan menggunakan metode garis lurus untuk menghitung beban penyusutan aset tersebut. Perusahaan mengestimasi bahwa masa manfaat motor tersebut 3 tahun dengan pertimbangan medan lapangan tempat perusahaan berada. Secara perpajakan, masa manfaat sepeda motor yaitu 4 tahun karena masuk dalam kelompok 1 pada aset bukan bangunan. Maka perbandingan perhitungan penyusutan aset tetap menurut perusahaan dan peraturan perpajakan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahun
|
Perhitungan Perpajakan
|
Perhitungan Perusahaan
| ||
Perhitungan
|
B. Penyusutan
|
Perhitungan
|
B. Penyusutan
| |
2014
|
12.000.000 : 4 =
|
3.000.000
|
12.000.000 : 3 =
|
4.000.000
|
2015
|
12.000.000 : 4 =
|
3.000.000
|
12.000.000 : 3 =
|
4.000.000
|
2016
|
12.000.000 : 4 =
|
3.000.000
|
12.000.000 : 3 =
|
4.000.000
|
2017
|
12.000.000 : 4 =
|
3.000.000
|
0
| |
Jumlah
|
12.000.000
|
Jumlah
|
12.000.000
|
Pada tabel di atas dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan pengakuan beban penyusutan setiap tahunnya, namun jumlah pembebanan pada akhirnya sama. Jadi inilah yang dimaksud dengan beda temporer, hanya beda waktu pengakuan saja karena pada keseluruhannya sama. Nah, bagaimana dengan aset pajak tangguhan? Maka kita perlu dahulu menghitung selisih pengakuan perpajakan dan pengakuan perusahaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahun
|
Perpajakan
|
Perusahaan
|
Selisih
|
Koreksi Fiskal
|
2014
|
3.000.000
|
4.000.000
|
1.000.000
|
Positif
|
2015
|
3.000.000
|
4.000.000
|
1.000.000
|
Positif
|
2016
|
3.000.000
|
4.000.000
|
1.000.000
|
Positif
|
2017
|
3.000.000
|
0
|
3.000.000
|
Negatif
|
12.000.000
|
12.000.000
|
Faktor Perpajakan
|
Kita sudah lihat jumlah selisih beban penyusutan dari masing-masing tahun. Koreksi fiskal positif karena selisih pengakuan tidak diakui secara perpajakan, sehingga beban menjadi lebih kecil dan menambah pajak. Koreksi fiskal negatif karena perusahaan tidak melakukan pembebanan penyusutan, namun pajak mengakui adanya beban penyusutan sehingga biaya bertambah dan pajak menjadi lebih rendah.
Aset pajak tangguhan diakui ketika adanya koreksi positif pada jenis beda temporer. Ketika pada saat pengakuan aset pajak tangguhan, akun yang menjadi lawannya adalah manfaat pajak tangguhan. Manfaat pajak tangguhan merupakan bagian dari laporan laba rugi yang akan dinettokan dengan beban pajak penghasilan.
Seandainya pada kasus ini, peredaran usaha perusahaan mencapai lebih dari Rp 50.000.000.000,00. Maka dalam perhitungan pajak, perusahaan menggunakan tarif 25%. Maka perhitungan manfaat pajak tangguhan adalah sebagai berikut:
Tahun
|
Koreksi Fiskal
|
Selisih
|
Manfaat (Beban) Pajak Tangguhan
| |
Perhitungan
|
Nominal
| |||
2014
|
Positif
|
1.000.000
|
1.000.000 x 25% =
|
250.000
|
2015
|
Positif
|
1.000.000
|
1.000.000 x 25% =
|
250.000
|
2016
|
Positif
|
1.000.000
|
1.000.000 x 25% =
|
250.000
|
2017
|
Negatif
|
3.000.000
|
3.000.000 x 25% =
|
(750.000)
|
Maka jurnal yang dilakukan perusahaan untuk mengakui manfaat dan beban pajak tangguhan adalah sebagai berikut:
Tahun
|
Keterangan
|
Debet
|
Kredit
|
2014
|
Aset pajak tangguhan
Manfaat pajak tangguhan
|
250.000
|
250.000
|
2015
|
Aset pajak tangguhan
Manfaat pajak tangguhan
|
250.000
|
250.000
|
2016
|
Aset pajak tangguhan
Manfaat pajak tangguhan
|
250.000
|
250.000
|
2017
|
Beban pajak tangguhan
Aset pajak tangguhan
|
750.000
|
750.000
|
Dari jurnal di atas dapat kita lihat bahwa dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 perusahaan mengakui adanya aset pajak tangguhan. Secara konsep seperti ini saja, pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 perusahaan mengakui beban penyusutan lebih besar Rp 1.000.000,00 lebih besar dari yang diakui pajak. Namun, pajak tidak mengakui selisih tersebut, jadi beban sudah terlanjur diakui perusahaan tersebut, menjadi seperti penghasilan bagi perpajakan dan dikenai tarif yang berlaku untuk perusahaan. Maka penghasilan yang tidak nyata dalam laporan keuangan perusahaan tersebut diakui sebagai aset pajak tangguhan dan menjadi manfaat pajak tangguhan yang menettokan beban pajak pada laporan laba rugi.
Pada tahun 2017, perusahaan sudah tidak lagi melakukan penyusutan atas aset tetap tersebut karena estimasinya sudah habis masa manfaatnya pada tahun 2016. Pada sisi lain, perpajakan masih mengakui adanya beban penyusutan aset tersebut yang disesuaikan dengan peraturan perpajakan. Jadi secara fiskal, biaya perusahaan menjadi lebih besar dan selisih tersebut juga dikalikan dengan tarif pajak perusahaan menjadi beban pajak tangguhan. Untuk tahun 2017 ada tahun habis masa manfaat untuk perpajakan, sehingga pada akhirnya jumlah keseluruhan beban penyusutan menurut pajak sama dengan perhitungan perusahaan. Pada tahun 2017 ini juga saldo aset pajak tangguhan yang diakumulasi dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 akan dihabiskan. Jadi buku besarnya sebagai berikut:
Tahun
|
Aset Pajak Tangguhan
|
Tahun
| |
2014
|
250.000
|
750.000
|
2017
|
2015
|
250.000
| ||
2016
|
250.000
| ||
750.000
|
750.000
| ||
Saldo = 0
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar