Kamis, 29 Desember 2016

Pajak Penghasilan atas Dividen



Kali ini kita akan membahas mengenai perlakuan pajak atas dividen. Dividen merupakan penghasilan yang diperoleh dari aktivitas investasi dengan menanamkan saham pada suatu perusahaan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan sudah mengatur lebih lanjut mengenai aspek perpajakan pada dividen.

Sebelumnya, terkadang ada pertanyaan mengenai syarat pembagian dividen. Hal ini tentu sudah diatur pada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Pada pasal 71 ayat 2 dijelaskan bahwa dividen bisa dibagikan apabila perusahaan memiliki saldo laba positif. Pada pasal 72 ayat 3 menegaskan juga bahwa atas pembagian dividen tidak mengganggu kegiatan operasional perusahaan serta pelaksanaan kewajiban terhadap kreditor.

Banyak informasi yang mengatakan bahwa dividen harus dibagikan tiap 5 tahun. Tetapi jika kita lihat dari ketentuan pasal 73 ayat 1 menjelaskan bahwa Dividen yang tidak diambil setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal yang ditetapkan untuk pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan khusus. Dan pada ayat 2 menegaskan bahwa dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak diambil dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun akan menjadi hak perseroan.

Pada asepek perpajakan, pertama mari kita pahami definisi dividen sebagai bukan objek pajak. Dividen sebagai bukan objek pajak tentu tidak akan dipungut pajak penghasilan oleh perusahaan yang membagikan dividen. Ketentun dividen bukan objek pajak dapat dilihat pada undang-undang pajak penghasilan pasal 4 ayat 3 dengan syarat sebagai berikut:
  1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan. 
  2. Kepemilikan paling rendah 25% dari jumlah total modal yang disetor.
Syarat dari ketentun tersebut hanya berlaku untuk penerima dividen dalam bentuk badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia.  

Di luar ketentuan dividen bukan objek pajak, maka perusahaan yang membagikan dividen wajib untuk memungut pajak penghasilan. Terdapat beberapa jenis pajak penghasilan yang bisa dikenakan terhadap dividen.

Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai Penerima Dividen
Dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi sudah diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009. Tarif pajak yang dikenakan dalam kasus ini sebesar 10% dan bersifat final. Proses pemungutan dan pelaporannya dengan menggunakan Surat Pemeberitahuan Masa (SPM) Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2.

Wajib Pajak Badan sebagai Penerima Dividen
Dividen yang diterima oleh wajib pajak badan sudah diatur pada undang-udang pajak penghasilan pasal 23. Oleh karena itu, dividen pada kasus ini dikenakan pajak penghasilan pasal 23 dengan tarif  15%. Jika penerima dividen tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dikenakan tariff 200% lebih tinggi menjadi 30%.

Wajib Pajak Luar Negeri sebagai Penerima Dividen
Dividen yang diterima oleh wajib pajak badan sudah diatur pada undang-udang pajak penghasilan pasal 26. Oleh karena itu, dividen pada kasus ini dikenakan pajak penghasilan pasal 26 dengan tarif  20%.

Sabtu, 10 September 2016

PPN KMS atas Pembanguan dengan Jasa Pemborong



Topik kali ini memang mungkin beberapa pihak yang sudah mengetahuinya, tapi tidak mengurangi tingkat keseruannya untuk dibahas. Mengapa demikian, tentu karena ini terkait pajak pertambahan nilai atas kegiatan membangun sendiri (PPN KMS). Masih sering terdengar di kalangan masyarakat umum yang masih kurang bergitu paham dengan PPN KMS ini. Masyarakat pada umumnya memang sering menjadikan PPN KMS seperti beban, karena dari kegiatan pembangunan yang kita lakukan akan memaksa kita untuk mengeluarkan dana lagi untuk disetorkan kepada pihak fiskus sebagai PPN KMS.

Pembahasan mengenai PPN KMS sudah pernah dibahas pada postingan sebelumnya. Hanya saja kali ini, kita akan membahas PPN KMS yang akan tetep kita setorkan meski pembangunan dilakukan oleh pihak kontraktor atau pemborong. Dasar perhitungan PPN KMS tetap sama sesuai dengan Peraturan Menteri Keungan Nomor 163/PMK.03/2012. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa dasar pengenaan pajak sebesar 20% dari total biaya yang dikeluarkan kemudian dikalikan tarif PPN KMS sebesar 10%. Pada umumnya, tarif PPH KMS dikatakan sebesar 2% (20% x 10%). Untuk luas pembangunan yang menjadi objek PPN KMS seluas 200m² selama periode pembangunan tidak lebih dari 2 tahun.

Lalu, bagaimana jika pembangunan yang kita lakukan dengan menggunkan jasa kontraktor atau pemborong. Bukan kah tanggung jawab pembangunan sudah beralih ke pihak kontraktor atau pemborong sehingga kita berkata bahwa pembangunan tersebut tidak kita lakukan sendiri. Dari kasus tersebut apakah masih terutang PPN KMS? Selama pembangunan tersebut masuk dalam kategori objek PPN KMS sesuai dengan ketentuan di Peraturan Menteri Keungan Nomor 163/PMK.03/2012, maka tetap ada kemungkinan atas pembangunan tersebut tetap terutang PPN KMS meski dilakukan oleh pihak kontraktor atau pemborong.

Penjelasan dimana pembangunan yang dilakukan oleh pihak kontraktor atau pemborong masih berpotensi terutang PPN KMS tertera pada surat edaran No. SE - 53/PJ/2012. Pada surat edaran tersebut menjelaskan tentang pelaksanaan lebih lanjut mengenai Peraturan Menteri Keungan Nomor 163/PMK.03/2012. Meski surat edaran tersebut telah diperbaruhi dengan surat edaran No. SE - 22/PJ/2013, namun masih terdapat ketentuan dari surat edaran No. SE - 53/PJ/2012 yang masih berlaku. Pada surat edaran No. SE - 53/PJ/2012 menjelaskan tersediri mengenai definisi dari kegiatan mengangun sendiri. Kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan melalui kontraktor atau pemborong tetapi atas kegiatan membangun tersebut tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dan kontraktor atau pemborong tersebut bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak.
Definisi kegiatan membangun sendiri dapat disimpulkan secara umum bahwa setiap kegiatan pembangunan akan terutang pajak pertambahan nilai. Jika dari pihak pemberi jasa pembangunan tidak memungut PPN (10%) atas jasa yang diberikan, maka pihak yang memanfaatkan jasa pembangunan dari kontraktor atau pemborong akan terutang PPN KMS (2%). Tentu juga, bagi pihak pemberi jasa pembangunan yang memungut PPN merupakan kelompok pengusaha kena pajak (PKP). Karena berdasarkan ketentutang undang-undang PPN, hanya wajip pajak yang menjadi PKP yang dapat memungut PPN.

Hal di atas menjelaskan dari aspek undang-undang pajak pertambahan nilai. Agar lebih meluas sedikit, maka kita akan lihat dari undang-undang pajak penghasilannya. Bagi wajib pajak yang menikmati jasa pembangunan dari pihak kontraktor atau pemborong memiliki kewajiban mumungut pajak penghasilan. Biaya jasa untuk pihak kontraktor atau pemborong dalam bentuk usaha orang pribadi akan dipungut PPh pasal 21 dengan tarif progresif (jika tidak memiliki NPWP akan dikenakan PPh pasal 21 lebih tinggi 20%).

Bagi kontraktor atau pemborong yang berbentuk badan bisa dikenakan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 ayat 2 (final) berdasarkan ketentuannya. Jika pihak kontraktor atau pemborong yang usahanya dalam bentuk badan namun tidak memiliki sertifikat bada usaha (SBU) akan dikenakan PPh pasal 23 dengan tarif 2%. Jika pihak kontraktor atau pemborong tersebut tidak memiliki NPWP akan dikenakan tarif 100% lebih tinggi.

Untuk kontraktor atau pemborong yang usahanya dalam bentuk badan dan memiliki sertifikat badan usaha (SBU) akan dikenakan PPh pasal 4 ayat 2 (final). Tarif yang digunakan untuk pajak pengasilan final ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. 2% untuk Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil.
  2. 4% untuk Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
  3. 3% untuk Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf 1 dan huruf 2.
  4. 4% untuk Jasa Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha.
  5. 6% untuk Jasa Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Selasa, 06 September 2016

Warisan Bukan Objek PPh dan Warisan Bukan Objek Tax Amnesty

Berkaitan dengan semakin besarnya dampak dari tax amnesty mengakibatkan masyarakat yang semakin ingin informasi mengenai peraturan perpajakan. Isu yang semakin kencang dibicarakan saat ini salah satunya adalah isu warisan. Memang tidak dapat kita pungkiri, bahwa masih terdapat masyarakat umum yang belum begitu memahami peraturan perpajakan kita. Bahkan bagi kalangan yang sudah mempelajari peraturan perpajakan sering memiliki pemahaman yang berbeda dari isi peraturan perpajakan. Tapi hal ini bukan berarti semrawutnya peraturan kita, justru ini yang menjadi asiknya sebagai bahan diskusi dan tentu pasti ada ujung penjelasannya. Karena seperti biasa, pada setiap peraturan perpajakan selalu dilampirin dengan penjelasannya.

Subjek pembicaraan kali ini adalah mengenai warisan yang sering dikaitkan dengan program tax amnesty pemerintah. Banyak opini publik yang berkembang bawa dari harta belum terlapor yang merupakan harta warisan akan dikenai beban tebusan dalam mengikuti program tax amnesty. Banyak alasan yang menjadikan hal tersebut sebagai momok yang meresahkan masyarakat umum. Bisa kita contohkan, jika harta warisan tersebut dari orang tua yang telah meninggal untuk anaknya yang penghasilannya masih terbilang kecil. Katakanlah warisan berupa tanah dan bangunan sebesar Rp 200.000.000,00 yang akan dikenakan biaya tebusan dengan tarif 2% (periode I) sebesar Rp 4.000.000,00. Pada sisi anak (ahli waris) yang hanya memperoleh penghasilan sebagai karyawan dengan gaji Rp 3.500.000,00. Hal ini jelas menjadi beban yang menyesakkan dada.

Pada undang-undang pajak penghasilan memang dijelaskan bahwa warisan bukanlah objek pajak yang dikenakan pajak penghasilan. Namun, hal itu bukan jaminan bawa warisan akan 100% bebas pajak. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan definisi objek pajak pada undang-undang pajak penghasilan, bawah objek pajak merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dari definisi tersebut yang memungkinkan warisan bisa menjadi objek pajak.

Kemudian bagaimana konsep warisan yang bukan objek pajak? Maka kita perlu memahami beberapa hal yang menjadikan warisan bukanlah objek pajak sesuai dengan Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 3.b dan semakin diperjelas pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No SE-20/PJ/2015 tetangang Pemberian Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena Warisan.

Ketentuan utama yang seharusnya perlu sekali kita pahami dari warisan bukan objek pajak dimana warisan tersebut diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan pihak pewaris telah meninggal. Keluar dari ketentuan tersebut, maka namanya sudah berganti menjadi "hibah" dan secara pajak sudah diatur tersendiri.

Ketentuan lain dari warisan bukan objek pajak merupakan harta yang telah dilaporkan dalam SPT pewaris. Jika warisan tersebut telah masuk dalam laporan SPT pewaris, makan akan menjadi patokan bahwa segala kewajiban perpajakan atas warisan tersebut telah terlaksana. Sudah menjadi hal umum jika wajib pajak yang melaporkan hartanya dengan lonjakan yang signifikan akan memunculkan potensi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sesuai dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 2 Ayat 4.a. Pada pasal tersebut menyatakan bawah kewajiban pajak sudah ada sejak subjek dan objeknya telah sesuai dengan undang-undang perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun semenjak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diterbitkan.

Jika kewajiban perpajakan atas harta warisan ternyata belum terlaksana sehingga memang belum terlaporkan dalam SPT pewaris, maka kewajiban perpajakan akan beralih kepada ahli waris. Hal ini yang menjadikan dasar jika warisan juga bisa menjadi objek pajak. Jika ingin menjadikan warisan tersebut ke dalam bagian bukan objek pajak bagi ahli waris, sebaiknya sebagai pewaris harus menyelesaikan kewajiban perpajakannya atas harta yang akan diwariskan tersebut.

Jika kita pahami, sebenarnya ketentuan ini ingin menunjukan bahwa segala hal memang terkena pajak. Hanya waktu pengenaan pajaknya yang berbeda-beda dan berapa kali pajak tersebut akan dikenakan. Kita tarik ke harta yang kita miliki, dimana sudah jelas ada sumber penghasilan yang menjadi dasar kita memperoleh harta tersebut. Dari sisi perpajakan, apakah penghasilan tersebut sudah dikenakan pajak penghasilan. Jika pertama kali kita membuat NPWP, kita akan melaporkan harta pertama kita dan sudah jelas penghasilan kita yang terlapor. Jika terdapat ketidaksingkronan antara penghasilan dan harta yang dimiliki, makan dari pihak perpajakan akan memunculkan SKPKB atas harta yang tidak wajar tersebut. Untuk menghindari SKPKB tersebut, kita dapat memanfaatkan program tax amnesty.

Kembali ke topik warisan, lalu bagaimana jika harta warisan ternyata tidak terlapor pada SPT pewaris. Warisan tersebut tetap dapat menjadi bukan objek pajak jika penghasilan pewaris dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sudah jelas, jika wajib pajak dengan penghasilan di bawah PTKP tidak memiliki kewajiban untuk dipungut atau menyetor pajak penghasilan. Pada umumnya juga wajib pajak tersebut tidak memiliki NPWP yang berdampak pada kewajiban melaporkan SPT mereka. Jadi seandai jika wajib pajak dengan penghasilan di bawah PTKP memiliki warisan, maka warisan tersebut sudah jelas tidak terutang pajak dan bukan menjadi objek pajak ketika diterima ahli waris.

Namun, permasalahan warisan ini tidak cukup sampai di situ. Mengapa demikian? Ternyata ada warisan yang cukup besar yang diwariskan kepada ali waris dengan penghasilan kecil bahkan di bawah PTKP. Hal ini ditambahkan dengan program tax amnesty pemerintah yang sedang gencar dilaksanakan. Kembali ke contoh di atas, dimana wajib pajak yang harus mengeluarkan dana sebesar Rp 4.000.000,00 (2% dari Rp 200.000.000,00) sedangkan per bulan penghasilannya hanya sebesar Rp 3.500.000,00. Melihat ini saja, penghasilannya sebulan tidak cukup untuk menutup biaya tebusan tax amnesty dan belum termasuk biaya hidup. Oleh karena itu, Dirjen Pajak mengeluarkan PER-11/PJ/2016 yang mengatur pelaksanaan lebih lanjut program tax amnesty.

Berdasarkan PER-11/PJ/2016 dapat kita lihat terdapat ketentuan tambahan mengenai warisan yang bukan merupakan objek pengampunan pajak. Ketentuan pertama dimana warisan yang diterima oleh ahli waris dengan penghasilan kurang dari PTKP, maka warisan tersebut tidak lagi menjadi objek pengampunan pajak pajak (pada pasal 2 ayat 2). Tapi kita harus mencermati betul mengenai peraturan pelaksanaan lanjutan ini. Jika kita pahami, peraturan ini menunjukan pemerintah memberikan kemudahan dalam aliran keuangan yang dimiliki wajib pajak dari penghasilan terhadap harta warisan yang diterima. Jadi ada 2 (dua) konsep yang sebaiknya jangan kita abaikan yaitu "bukan objek pajak penghasilan" dan "bukan objek pengampunan pajak".

Pendapatan penulis, terdapat gap yang harus dicermati dari peraturan tentang warisan "bukan objek pajak penghasilan" dengan warisan "bukan objek pengampunan pajak". Gap ini pada satu titik dimana harta yang diwariskan tidak terlapor NPWP pewaris dalam arti pajak tidak punya data tentang harta warisan tersebut. Pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No SE-20/PJ/2015 menjelaskan bawa warisan tidak terlapor di NPWP pewaris tetap masuk dalam kelompok bukan objek pajak penghasilan dengan titik poin dimana "pewaris" sendiri memiliki penghasilan di bawah PTKP. Sedangkan, pada PER-11/PJ/2016 menjelaskan bawa warisan tidak terlapor di NPWP pewaris tetap masuk dalam kelompok bukan objek pengampunan pajak dengan titik poin dimana "ahli waris" sendiri memiliki penghasilan di bawah PTKP.

Dari kedua gap di atas, maka akan ada potensi dimana warisan yang masuk dalam kelompok bukan "objek pengampunan pajak" karena ahli waris memiliki penghasilan di bawah PTKP, tetapi warisan tersebut tetap menjadi "objek pajak penghasilan" karena keluar dari konsep Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No SE-20/PJ/2015 dimana warisan tersebut tidak terlaporn di NPWP pewaris yang memiliki penghasilan di atas PTKP.

Jika terjadi kondisi yang di atas, bagi penulis alangkah baiknya untuk wajib pajak tersebut melakukan tax amnesty. Mengapa demikian? Karena secara konsep objek pajak, warisan tersebut sudah keluar dari ketentuan warisan bukan objek pajak penghasilan. Sehingga masih terdapat kewajiban perpajakan yang terus terikat di warisan tersebut dan akan berpindah ke ahli waris. Kita buat contoh itu warisan tanah dan bangunan yang akan terkena tarif PPh final sebesar 5%, akan bisa kita hemat menjadi 2% ketika kita mengikuti tax amnesty. Panjang lebar pembahasan ini, penulis ingin berbagi opini jika kasus seperti ini akan terjadi.

Gambar berikut akan menjelaskan yang dimaksud dengan Gap.
Gambar 1. Bukan Objek PPh dan Bukan Objek TA
Gambar 2. GAP Objek PPh dan Bukan Objek TA

Sekedar mengingatkan, kembali ke wajib pajak bahwa Tax Amnesty sekali lagi merupakan "HAK". Jadi pada penjelasan harta warisan ini, hak tersebut boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. Tentu  saja ada dampak-dampak yang mengikuti. 

Kamis, 28 Juli 2016

Pengampunan Pajak


Saat ini isu perpajakan yang sedang asik dibicarakan berkaitan dengan pengampunan pajak (tax amnesty). Memang pada pembahasan sebelumnya telah mebuka bahan mengenai tax amnesty berdasarkan RUU Pengampunan Nasional yang keluar pada tahun 2015. Jika kita lihat, ternyata RUU Pengampunan Nasional yang muncul pada tahun 2015 memang sangat berbeda dengan RUU Pengampunan Pajak tahun 2016 ini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Pada RUU Pengampunan Nasional jelas tampak adanya penghapusan sanksi pidana tertentu (kecuali pidana narkotika, perdagangan manusia dan terorisme) yang dihapuskan dan tidak dimunculkan pada pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Tapi penulisan kali ini tidak membahas perbandingan RUU Pengampunan Nasional 2015 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Karena tentunya banyak aspek yang berbeda dari keduanya. Tapi yang jelas pasti bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah sah berlaku saat ini.

Sebelum masuk lebih dalam, kita harus mengetahui sebenarnya apa itu Pengampunan Pajak? Jika kita cermati di Undang-Undang tersebut, kita dapat mendefinisikan secara lebih mudah bahwa Pengampunan Pajak adalah bentuk penghapusan pajak yang seharusnya terhutang (dibayarkan) beserta sanksi pajak yang mengikatnya. Sanksi yang mengikat dalam hal ini adalah sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam bidang perpajakan. Sanksi administrasi muncul sebagai akibat pajak yang seharusnya dibayar ternyata terlambat untuk dibayarkan (ya karna memang tidak pernah dibayar). Sebagai ganti dari fasilitas pengampunan pajak tersebut, wajib pajak harus membayar uang tebusa dengan kepada negera.

Jika kita berbicara mengenai perpajakan, cara paling mudah untuk memahaminya adalah dengan cara mempelajari objek pajak dan subjek pajaknya. Objek dari pengampunan pajak adalah pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM). Ketiga jenis objek pajak yang dihapuskan ini terikat pada harta yang tidak dilaporkan kepada KPP sampai dengan SPT Tahunan Pajak 2015. Sebagai ganti penghapusan ketiga jenis pajak tersebut beserta sanki dalam bidang perpajakannya, maka wajib pajak diwajibkan untuk membayar kepada negara dengan istilah "Uang Tebusan" dengan dasar perhitungan tertentu. Seperti moto pajak yang melekat pada Undang-Undang ini yaitu, "Ungkap, Tebus, Legah".

Uang tebusan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 ini didasarkan pada jumlah harta bersih dikalikan dengan tarif tertentu. Harta bersih disini merupakan jumlah tambahan harta yang belum dilaporkan dikurangi jumlah hutang yang belum terlaporkan. Hutang disini merupakan hutang yang terkait langsung dengan perolehan harta yang belum dilaporkan. Melihat dasar pengenaan perhitungan uang tebusan ini, sepertinya pihak pajak sedikit lebih ketat. Hal ini dikarenakan adanya batasan jumlah hutang yang boleh digunakan masimal 75% untuk Wajib Pajak badan dan maksimal 50% untuk Wajib Pajak orang pribadi dari jumlah Harta tambahan.

Tarif yang digunakan dalam perhitungan uang tebusan juga beragam macam bergantung pada kondisi dan waktu pemanfaatan fasilitas pengampunan pajak. Pertama, terkait Harta tambahan yang ada di dalam negera Indonesia akan dikenakan tarif perhitungan uang tebusan sebagai berikut:
Periode Pemanfaat
Tarif
Juli 2016 - September 2016
2%
Oktober 2016 - Desember 2016
3%
Januari 2017 - Maret 2017
5%
Syarat untuk Harta tamabahan yang ada di Indonesia tidak diperbolehkan dipindahkan ke luar negeri dalam jangka waktu paling singkat 3 tahun. Kedua, terkait Harta tambahan yang ada di luar negara Indonesia akan dikenakan tarif perhitungan uang tebusa sebagai berikut:
Periode Pemanfaat
Tarif
Juli 2016 - September 2016
4%
Oktober 2016 - Desember 2016
6%
Januari 2017 - Maret 2017
10%
Namun, untuk Harta tambahan yang ada di luar negara Indonesia yang akan dimasukan atau diinvestasikan ke dalam Indonesia bisa dikatakan mendapat diskon 50%. Hal ini menjadikan tarifnya sama dengan tarif Harta tambahan yang ada di dalam Indonesia. Tentu ada syaratnya dimana harta yang masuk di Indonesia harus diinvestasikan dengan jangka waktu paling singkat selama 3 tahun dengan jenis investasi yang telah diatur oleh Undang-Undang Pengampunan Pajak.
No
Jenis Investasi
2
Surat Berharga Negera Republik Indonesia
3
Obligasi Badan Usaha Milik Negara
4
Obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah
5
Investasi keuangan pada Bank Persepsi
6
Obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
7
Investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Pemerintah
8
Bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan

Ketiga, terkait Harta tambahan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 akan menggunakan tarif yang berlaku sejak Juli 2016 sampai dengan Maret 2017 sebagai berikut:
Jumlah Harta Tambahan
Tarif
Rp 10.000.000.000 <
0,5%
> Rp 10.000.000.000
2%
Syarat yang mengikat pada jenis tarif ketiga ini dimana penghasilan tersebut hanya bersumber dari kegiatan usaha dan tidak menerima penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja atau pekerjaan bebas.

Sebagai contoh, berikut cara menghitung uang tebusan :

Membahas mengenai pengampunan pajak, terdapat beberapa keuntungan yang akan diperoleh bagi wajib pajak. Tentunya terkait penghapusan sanksi administrasi dan sanksi pinda dalam bidang perpajakan. Namun, pada sisi lain terdapat beberapa hal yang perlu diketahui wajib pajak mengenai syarat mengikuti pengampunan pajak ini. Syarat ini yang bisa dikatakan sedikit kerugian yang ditanggung oleh wajib pajak.
  1. Mencabut permohonan restitusi atau kompensasi pajak lebih bayar yang dimiliki oleh wajib pajak.
  2. Wajib pajak tidak berhak dalam mengkompensasikan kerugian fiskal yang sudah terakumulasi sampai dengan tahun pajak 2015.
  3. Wajib pajak mencabut permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar. (UU No 11 Tahun 2016 Pasal 8 ayat 3 poin f.3)
  4. Wajib pajak secara perpajakan tidak bisa melakukan amortisasi untuk harta tambahan baik dalam bentuk aset berwujud maupun aset tidak berwujud.
Wajib pajak sebaiknya memahami betul akan beberapa hal di atas, sehingga bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan untuk melangkah. Pada aspek laporan keuangan, undang-undang pengampunan pajak sudah mengatur bahwa harta tambahan yang dilaporkan akan dimasukan sebagai saldo laba ditahan (UU No 11 Tahun 2016 Pasal 14 ayat 1). Perlakuannya hampir sama ketika melakukan revaluasi aset tetap, dimana nilai pertambahan aset tetap masuk ke bagian neraca (ekuitas) dan bukan sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi.