Senin, 29 Juni 2015

Sumbangan dari Segi Perpajakan

Dewasa ini, banyak perusahaan sudah memulai memperhatikan mengenai keberlangsungan usahanya yang dipengaruhi pada Corporate Sosisal Responsibilty (CSR). Terdapat banyak hal yang dapat dilakukan perusahaan dalam melaksanakan kegiatan CSR. Salah satu hal yang sering dikaitkan dengan CSR adalah dengan melakukan kegiatan pemberian sumbangan.

Pada segi perpajakan, pemberian sumbangan sudah diatur dan salah satunya pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 76/PMK.03/2011. Pada peraturan tersebut, sumbangan dibagi menjadi beberapa jenis yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional
Merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana.
2. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
Merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan.
3. Sumbangan fasilitas pendidikan
Merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan.
4. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
Merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang atau jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga.
5. Sumbangan pembangunan infrastruktur sosial
Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

Peraturan perpajakan telah mengatur bahwa kelima jenis sumbangan diatas diperbolehkan menjadi pengurang laba kena pajak sebagai objek pajak. Pada sisi lain, terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk perusahaan jika akan melakukan pengeluaran kas dan setara kas untuk menyumbang. Syarat yang harus dipenuhi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Perusahaan memiliki penghasilan neto fiskal pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak sebelumnya.
  2. Pemberian sumbangan yang dilakukan tidak menyebabkan kerugian pada tahun pajak sumbangan diberikan.
  3. Didukung oleh bukti yang sah
  4. Lembaga yang menerima sumbangan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan
  5. Besarnya nilai sumbangan dan biaya pembangunan infrastruktur sosial untuk 1 (satu) tahun pajak  dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
  6. Sumbangan yang diberikan tidak antar pihak yang memiliki hubungan istimewa. 


Contoh:
PT Togar memberikan sumbangan kepada Yayasan Sirait (memiliki NPWP dan lolos atas syarat keempat) yang digunakan untuk kegiatan pendidikan SMA Siratit. Sumbangan yang diberikan pada tahun 2015. Pada tahun 2014 PT Tigor memiliki penghasilan netto fiskal sebesar Rp 25.000.000.000,00 (lolos atas syarat pertama). PT Tigor akan menyumbangkan berupa dana sebesar Rp 1.000.000.000,00 (dibawah 5% dari penghasilan netto fiskal tahun pajak 2014 "Rp 1.250.000.000,00", maka lolos atas syarat kelima). Pada tahun 2015 PT Tigor telah menghitung taksiran penghasilan netto fiskal sebesar Rp 30.000.000.000,00 (Perusahaan tetap memiliki laba fiskal atas pengeluaran sumbangan tersebut, maka lolos atas syarat kedua). Atas sumbangan yang diberikan PT Tigor, telah dilakukan pengukuan dokumen sebagai bukti serah terima sumbangan (lolos atas syarat ketiga). Sebagai informasi bahwa PT Tigor tidak memiliki hubungan istimewa dengan Yayasan Sirait (lolos atas syarat keenam).

Sumbangan yang diberikan untuk jenis sumbangan 1 sampai dengan 4 dapat diberikan dengan mengunakan bentuk uang atau barang. Namun, sumbangan untuk jenis sumbangan kelima dapat diberikan dalam bentuk sarana dan prasarana. Pada pencatatannya atas sumbangan tersebut harus tercantum secara jelas tujuan dari pemberian sumbangannya.

Pada pencatatan atas sumbangan, besarnya jumlah sumbangan dalam bentuk barang juga sudah diatur oleh perpajakan sebagai berikut:
  1. Sumbangan dalam bentuk barang belum disusutkan, maka nilai sumbangan yang dibebankan sebesar nilai peroleh barang tersebut. Sebagai contoh: Pada tahun 2014 PT Tigor membeli mesin fotokopi sebesar Rp 15.000.000,00. Mesin tersebut belum sempat untuk disusutkan karena memang belum pernah digunakan. Pada tahun tahun 2015 PT Tigor menyumbangkan mesin fotokopi tersebut kepada Yayasan Sirait, maka besarnya biaya sumbangan yang dicatat oleh PT Tigor sebesar nilai perolehannya yaitu Rp 15.000.000,00. 
  2. Sumbangan dalam bentuk barang yang sudah disusutkan, maka nilai sumbangan yang dibebankan sebesar nilai buku fiskal barang tersebut. Sebagai contoh: Pada tahun 2014 PT Tigor membeli mesin fotokopi sebesar Rp 15.000.000,00. Pada tahun tahun 2015 PT Tigor menyumbangkan mesin fotokopi tersebut kepada Yayasan Sirait. Mesin fotokopi tersebut telah disusutkan sesuai dengan ketentuan perpajakan selama 12 bulan sebesar Rp 3.125.000.000,00 sehingga nilai buku fiskalnya sebesar Rp 21.875.000.000,00. Berdasarkan data tersebut, biaya sumbangan yang dibebankan oleh PT Tigor sebesar Rp 21.875.000.000,00.
  3. Sumbangan dalam bentuk barang yang merupakan hasil produksi sendiri, maka nilai sumbangan yang dibebankan sebesar harga perolehan produksi atas barang tersebut. Sebagai contoh: PT Tio bergerak dibidang mebel. Pada tahun 2015 PT Tio menyumbangan 50 buah meja dan 100 buah kursi untuk Yayasan Sirait. Biaya yang dikeluarkan oleh PT Tio untuk membuat 50 buah meja dan 100 buah kursi sebesar Rp 25.000.000,00. Berdasarkan data tersebut, biaya sumbangan yang dibebankan oleh PT Tio sebesar Rp 25.000.000,00.
  4. Sumbangan pembangunan infrastrukstur sosial yang dibebankan sebesar dari biaya sesungguhnya yang telah dikeluarkan.


Pembebanan atas sumbangan yang diberikan jenis sumbangan pertama sampai keempat harus dibebankan pada tahun pajak berjalan. Sedangkan untuk jenis sumbangan kelima dibebankan pada tahun pajak ketika infrastruktur sosial tersebut siap dimanfaatkan. Pembangunan infrastruktur sosial dengan jangka waktu lebih dari satu tahun pajak, maka beban sumbangan tersebut dapat dibebankan sekaligus pada tahun pajak infrastruktur sosial dapat dimanfaatkan.


Kewajiban Perpajakan atas Sumbangan
1. Pemberi Sumbangan
Pada sisi pemberi sumbangan diwajibkan untuk melapirkan bukti penerimaan sumbangan dan dilampirkan pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

2. Penerima Sumbangan
a. Jenis sumbangan pertama
Lembaga yang menjadi badan penerima dan pengelola sumbangan atas bencana alam diwajibkan untuk meyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak setiap triwulan.
b. Jenis sumbangan kedua sampai dengan jenis sumbangan kelima
Lembaga yang menjadi penerima sumbangan atas jenis sumbangan kedua sampai dengan jenis sumbangan kelima diwajibkan untuk menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak pada akhir tahun pajak penerimaan sumbangan.

Rabu, 24 Juni 2015

Faktur Pajak

Wajib pajak yang sudah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Faktur pajak merupakan instrumen yang digunakan sebagai bukti pemungutan pajak.

Pengusaha Kena Pajak diwajibkan untuk membuat faktur pajak untuk setiap adanya penyerahan BKP dan JKP. Jika terdapat pembayaran terlebih dahulu baik secara keseluruhan maupun sebagian sebelum adanya penyerahan BKP dan JKP, maka faktur dibuat pada saat adanya pembayaran. Faktur biasanya dibuat pada setiap ada penyerahan BKP dan JKP, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 pasal 13 ayat 2 dan 2a "Satu faktur dapat dibuat untuk beberapa kali penyerahan BKP dan JKP dalam 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli, dengan ketentuan paling lambat dibuat pada akhir bulan penyerahan".

Faktur pajak paling sedikit dibuat dalam 2 (dua) rangkap yang peruntukannya kepada pembeli sebagai rujukan PPN masukan dan kepada penjualan sebagai arsip. Jika dalam pembuatan Faktur Pajak lebih dari 2 rangkap, maka harus dinyatakan secara jelas peruntukannya dalam lembar Faktur Pajak yang bersangkutan.

Beberapa ketentuan yang harus ada pada Faktur Pajak adalah sebagai berikut:
  1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
  2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
  3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga.
  4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.
  5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut.
  6. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
  7. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.


Nomor seri Faktur Pajak pada saat ini sudah diatur tersendiri. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-24/PJ/2012 pasal 1 poin 8 "Nomor Seri Faktur Pajak adalah nomor seri yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kepada Pengusaha Kena Pajak dengan mekanisme tertentu untuk penomoran Faktur Pajak yang berupa kumpulan angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak"

Nomor seri faktur pajak yang telah diatur oleh Per-24/PJ/2012 dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. 2 digit pertama adalah Kode Transaksi
  2. 1 digit berikutnya adalah Kode Status
  3. 13 digit berikutnya adalah Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh DJP 


Kode Transaksi yang tercantum pada nomor seri Faktur Pajak dapat dijelasakan sebagai berikut:
No
Keterangan
01
Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang terutang PPN dan PPN nya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan penyerahan BKP dan/atau JKP.
02
Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN Bendahara Pemerintah dimana PPNnya langsung dipungut oleh Pemungut PPN Bendahara Pemerintah.
03
Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN Lainnya (selain Bendahara Pemerintah) dimana PPNnya langsung dipungut oleh Pemungut PPN Lainnya (Selain Bendahara Pemerintah).
04
Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang menggunakan DPP Nilai Lain yang PPNnya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.
05
Kode ini tidak digunakan
06
Digunakan untuk penyerahan lainnya yang PPNnya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JK, dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16E Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
07
Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DTP).
08
Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
09
Digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D yang PPNnya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP.

Kode Status yang tercantum pada nomor seri Faktur Pajak terdiri dari "0" jika merupakan Faktur Pajak normal dan "1" jika merupakan Faktur Pajak penggantian.


Berkaitan dengan dokumen yang menjadi rujukan sebagai bukti pemungutan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Hal ini dapat dicontohkan jika perusahaan melakukan kegiatan ekspor impor, maka dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dapat dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Selasa, 23 Juni 2015

Pajak Pertambahan Nilai

PPN
Pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara umum. Hal ini agar kita lebih paham mengenai PPN dan yang menjadi dasar pengenaan PPN. Objek pajak atas PPN secara umum dapat dikatakan semua Barang Kena Pajak (BKP) baik berwujud maupun tidak berwujud dan Jasa Kena Pajak (JKP), kecuali pada undang-undang atau peraturan pemerintah mengatur mengenai pengecualian dari objek pajak PPN.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A ayat 2, yang dikecualikan dari obje PPN adalah sebagai berikut:
a. Bukan Barang Kena Pajak PPN
Barang yang tidak menjadi objek dari PPN dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Barang dari hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
  2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak (bukan hasil pengolahan).
  3. Makanan dan minuman yang dikonsumsi di tempat penyedia (masuk dalam pajak pembangunan daerah)
  4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.


b. Bukan Jasa Kena Pajak PPN
Jasa yang tidak menjadi objek dari PPN dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jasa pelayanan kesehatan medis
10. Jasa angkutan umum
2. Jasa pelayanan sosial
11. Jasa tenaga kerja
3. Jasa pengiriman surat dan perangko
12. Jasa perhotelan
4. Jasa keuangan
13. Jasa yang disediakan pemerintah
5. Jasa asuransi
14. Jasa penyediaan tempat parkir
6. Jasa keagamaan
15. Jasa telepon umum dengan uang logam
7. Jasa pendidikan
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
8. Jasa kesenian dan hiburan
17. Jasa boga atau katering
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan


Seperti yang dijelaskan, bahwa PPN dikenakan atas penyerahan barang kena pajak. Oleh karena itu, berikut bukan penyerahan BKP yang menjadi objek PPN:
  1. Penyerahan barang kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
  2. Penyerahan barang yang digunakan sebagai jaminan utang-piutang.
  3. Penyerahan barang dari pusat ke cabang atau sebaliknya dengan ketentuan bahwa kewajiban PPN telah dilakukan pemusatan.
  4. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.
  5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.

Jadi secara mudahnya, semua jenis BKP dan JKP dikenakan PPN kecuali undang-undang dan peraturan pemerintah mengatur untuk pengecualiannya. Bahkan, penjualan secara konsinyasi (titipan) sudah merupakan objek PPN.

Tarif PPN
Secara umum tarif PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dan 0% (nol persen) untuk PPN atas barang ekspor. Namun, tarif PPN dapat berubah dengan nilai terendah sebesar 5%(lima persen) sampai nilai tertinggi sebesar 15% (lima belas persen) berdasarkan Peraturan Pemerintah. Tarif PPN dihitung berdasarkan harga jual atau harga peralihan yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

Jenis PPN
PPN sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu: PPN Keluaran dan PPN Masukan. PPN keluaran merupakan PPN yang dipungut ketika kita melakukan penjualan. PPN keluaran hanya dipungut oleh wajib pajak yang sudah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pemungutan PPN keluaran tersebut, PKP wajib menyetor PPN keluaran tersebut kepada fiskus. PPN masukan merupakan PPN yang kita bayarkan kepada penjualan yang merupakan PKP pada saat pembelian BKP atau menerima Jasa Kena Pajak. Atas PPN masukan ini dapat dikreditkan untuk mengurangi jumlah PPN keluaran yang harus disetorkan kepada fiskus.

PPN masukan tidak dapat dijadikan kredit pajak PPN keluaran dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak baik impor maupun di dalam pabean Indonesia sebelum pengusaha tersebut dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak .
  2. Perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
  3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
  4. PPN masukan dimana dokumen faktur pembeliannya cacat (tidak lengkap) sesuai ketentuan undang-udang.
  5. PPN atas BKP dan JKP yang ditagihkan dengan menggunakan penerbitan ketetapan pajak.
  6. PPN masukan yang belum dilaporkan dan ditemukan pada saat pemeriksaan pajak.
  7. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi.

Jika PPN masukan tidak dapat dikreditkan pada PPN keluaran, maka PPN tersebut harus dibebankan atau menjadi komponen Harga Perolehan (HPP) atas pembelian BKP atau JKP.

PPN Masukan yang belum dilaporkan atau dikreditkan dengan PPN keluaran pada masa pajak yang sama, maka PPN masukan tersebut masih dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya dengan batas maksimal 3 bulan sejak masa pajak sebelumnya.

Sabtu, 20 Juni 2015

Posting PDF di Blog

Berikut adalah cara singkat bagaimana memposting file PDF ke blog:
1) Buka website google dokumen

 2) Sehingga akan tampil seperti berikut, kemudian klik "Buka Pemilih File"
 3) Maka akan muncul tampilan sebagai berikut.
 4) Pilih sub menu "Unggah". Cara upload file cukup mudah, bisa dengan menyeret file ke dalam kotak dialog atau  menggunakan fasilitas "Pilih File dari Komputer".
 5) Tunggu proses upload sedang berlangsung hingga selesai
 6) Maka akan muncul seperti tampilan berikut
 7) Pilih "Sematkan Item" seperti bada gambar
 8) Copy seperti yang ada digambar
 9) Pada postingan Blog, Pilih HTML kemudia tempelkan sematan item yang sudah di kopi sebelumnya
 10) Makan hasilnya akan jadi seperti pada gambar berikut:
 11) Atur untuk pajak dan lebar tampilan PDF yang akan diposting di blog. Kemudian Posting.
Semoga Bermanfaat

Kamis, 18 Juni 2015

PPh Pasal 22 Barang Sangat Mewah

Pada kesempatan ini kita akan membahas pajak yang akan dikenakan untuk barang yang tergolong barang mewah. Kita akan menggunakan dasar PMK No.90/PMK.03/2015. Barang yang tergolong sangat mewah ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi.
  2. Kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya.
  3. Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 400m² (empat ratus meter persegi).
  4. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 150m² (seratus lima puluh meter persegi).
  5. Kendaraan bermotor roda empat penganggkut orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehincle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus, dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000cc.
  6. Kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc.




Atas barang mewah akan dikenakan pajak PPh pasal 22. Pemungut pajak PPh Pasal 22 atas barang sangat mewah adalah Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang sangat mewah tersebut. Berdasarkan PMK No.253/PMK.03/2008, tarif untuk perhitungan PPh pasal 22 atas barang sangat mewah sebesar 5% dari harga jual (tidak termasuk PPN dan PPnBM).

Semoga informasi ini bermanfaat bagi pembaca.

Rabu, 17 Juni 2015

Perbaikan Pada Printer Offline

Tulisan ini merupakan catatan bagi penulis jika kemudian hari mengalami masalah yang sama. Nah, siapa tahu jika ada yang memiliki masalah yang sama, jadi bisa saling berbagi solusi.

Bagi yang bekerja di kantoran dan mungkin masyarakat umum lah yang menggunakan printer melalui jaringan Wifi, mungkin pernah mengalami printer offline. Nah, berikut cara mengatasi masalah printer offline.

1) Klik pada menu "Start", kemudian klik "Control Panel"

2) Klik "System and Security"


3) Klik "Administrative Tools"

4) Doble Klik pada "Services"

5) Maka akan memunculkan seperti gambar berikut

6) Kemudian, pada menu "Name" cari pilihan "Print Spooler" atau untuk lebih cepat, pada keyboard tekan "p", sehingga akan muncul seperti gambar berikut.

7) Doble klik pada "Print Spooler" maka akan muncul gambar berikut. Kemudian klik "Stop". Tunggu proses yang sedang berlangsung.

8) Kemudian klik "Start" dan tunggu proses yang sedang berlangsung.

9) Kemudian klik "OK" dan tutup semua jendela

Setelah itu, kita dapat lagi menggunakan printer kita lagi. Semoga bermanfaat.



Selasa, 16 Juni 2015

PPN Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)

Pada umumnya kita sudah banyak yang mengenal PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Kali ini kita akan membahas mengenai PPN atas kegiatan membangun sendiri atau PPN KMS. PPN KMS sendiri sebenarnya sudah diatur pada Peraturan Menteri Keungan Nomor 163/PMK.03/2012. Kita akan bongkar penjelasan mengenai PPN KMS berdasarkan peraturan tersebut.


Masyarakat umum sebagai besar belum mengetahui mengenai PPN KMS ini. Jika kegiatan membangun dengan menggunakan jasa konstruksi, sudah jelas akan dipotong PPh Pasal 4 Ayat 2 dan PPN atas jasa kena pajak. Namun, jika kita melakukan kegiatan membangun sendiri, kita juga akan terikat oleh peraturan mengenai PPN KMS.

Awalnya kita harus mengetahui apa yang menjadi objek pajak PPN KMS. Objeknya ada total biaya yang dikeluarkan oleh perorangan atau badan dalam melakukan pembangunan sendiri. Adapun syarat bangunan tersebut sebagai berikut:
  1. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja.
  2. Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha.
  3. Luas keseluruhan paling sedikit 200m².


Dari syarat di atas, dapat dilihat bahwa total luas bangunan paling sedikit 200m². Jadi jika ada pembangunan pada tanah seluas 150m² tidak akan terkena PPN KMS. Namun jika pembangunan dilakukan untuk bangunan tingkat dua, maka total luas bangunan menjadi kurang lebih 300m² (150m² lantai satu + 150m² lantai dua).

Selain persyaratan bangunan, PPN KMS juga terikat pada jangka waktu pembangunan maksimal 2 tahun. Jadi jika pada tahun pertama melakukan pembangunan seluas 150m² (tampak tidak sebagai objek PPN KMS), namun pada tahun kedua melakukan pembangunan lagi seluas 100m², maka akan terutang PPN KMS.

Kita sudah mengetahui bahwa apakah yang menjadi objek PPN KMS. Sekarang bagaimana cara menghitung PPN KMS sendiri? Pada umumnya beberapa kalangan langsung menembak bahwa tarif PPN KMS sebesar 2% (dua persen). Sebenarnya hal itu tidak salah, namun jika tarif 2% yang dikatakan sebagai tarif PPN KMS merupakan suatu kekeliruan. Tarif PPN KMS tetaplah 10% (sepuluh persen). Tapi sebelumnya, total biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan membangun sendiri harus dikalikan 20% terlebih dahulu untuk menjadi dasar pengenaan pajak (DPP). Nah, dari DPP tersebut baru dikalikan tarif PPN sebesar 10%. Jadi angka 2% yang sering disebut-sebut sebagai tarif pajak PPN KMS berasal dari tarif PPN KMS dikali dengan dasar perhitungan DPP (10% x 20% = 2%).

Contoh:
Bang Tigor sedang membangun rumahnya dengan tidak menggunakan jasa konstruksi. Pembangunan di mulai pada bulan Januari 2015 dan ditargetkan akan selesai pada bulan Desember 2015. Luas bangunan yang dibangun sebesar 250m². Anggaran yang dibuat oleh Bang Tigor untuk membangun rumahnya sebesar Rp 240.000.000,00.

Nah, untuk saat terutang PPN KMS, masih banyak masyarakat umum yang belum mengetahui secara benar. Pada peraturannya berdasarkan pasal 4 ayat 1 dikatakan "Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai". Dan pada pasal 5 juga jelas disebutkan bahwa PPN KMS dibayarkan setiap bulan.

Jadi untuk contoh di atas, kita asumsikan anggaran biaya diproporsionalkan untuk masing-masing bulan dari awal pembangunan sampai dengan target selesai, sehingga PPN KMS untuk bulan Januari 2015 sebagai berikut:

Anggaran pembangunan
=
Rp 240.000.000,00
Jangka waktu pembangunan
=
12 bulan
Biaya bulan Januari 2015
=
Rp   20.000.000,00



DPP PPN KMS
=
20% x Rp   20.000.000,00

=
Rp     4.000.000,00



PPN KMS
=
10 % x Rp     4.000.000,00

=
Rp         400.000,00

Dari perhitungan di atas, dapat kita lihat bahwa PPN KMS yang harus disetor bulan Januari 2015 sebesar Rp 400.000,00.

Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.