Berkaitan dengan
semakin besarnya dampak dari tax amnesty
mengakibatkan masyarakat yang semakin ingin informasi mengenai peraturan
perpajakan. Isu yang semakin kencang dibicarakan saat ini salah satunya adalah
isu warisan. Memang tidak dapat kita pungkiri, bahwa masih terdapat masyarakat
umum yang belum begitu memahami peraturan perpajakan kita. Bahkan bagi kalangan
yang sudah mempelajari peraturan perpajakan sering memiliki pemahaman yang
berbeda dari isi peraturan perpajakan. Tapi hal ini bukan berarti semrawutnya
peraturan kita, justru ini yang menjadi asiknya sebagai bahan diskusi dan tentu
pasti ada ujung penjelasannya. Karena seperti biasa, pada setiap peraturan
perpajakan selalu dilampirin dengan penjelasannya.
Subjek
pembicaraan kali ini adalah mengenai warisan yang sering dikaitkan dengan
program tax amnesty pemerintah.
Banyak opini publik yang berkembang bawa dari harta belum terlapor yang
merupakan harta warisan akan dikenai beban tebusan dalam mengikuti program tax amnesty. Banyak alasan yang menjadikan
hal tersebut sebagai momok yang meresahkan masyarakat umum. Bisa kita
contohkan, jika harta warisan tersebut dari orang tua yang telah meninggal
untuk anaknya yang penghasilannya masih terbilang kecil. Katakanlah warisan
berupa tanah dan bangunan sebesar Rp 200.000.000,00 yang akan dikenakan biaya
tebusan dengan tarif 2% (periode I) sebesar Rp 4.000.000,00. Pada sisi anak
(ahli waris) yang hanya memperoleh penghasilan sebagai karyawan dengan gaji Rp
3.500.000,00. Hal ini jelas menjadi beban yang menyesakkan dada.
Pada
undang-undang pajak penghasilan memang dijelaskan bahwa warisan bukanlah objek
pajak yang dikenakan pajak penghasilan. Namun, hal itu bukan jaminan bawa
warisan akan 100% bebas pajak. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan definisi
objek pajak pada undang-undang pajak penghasilan, bawah objek pajak merupakan tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun. Dari definisi tersebut yang memungkinkan warisan bisa
menjadi objek pajak.
Kemudian
bagaimana konsep warisan yang bukan objek pajak? Maka kita perlu memahami
beberapa hal yang menjadikan warisan bukanlah objek pajak sesuai dengan
Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 3.b dan
semakin diperjelas pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No SE-20/PJ/2015
tetangang Pemberian Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena Warisan.
Ketentuan utama
yang seharusnya perlu sekali kita pahami dari warisan bukan objek pajak dimana
warisan tersebut diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat dan pihak pewaris telah meninggal. Keluar dari ketentuan tersebut,
maka namanya sudah berganti menjadi "hibah" dan secara pajak sudah
diatur tersendiri.
Ketentuan lain dari
warisan bukan objek pajak merupakan harta yang telah dilaporkan dalam SPT
pewaris. Jika warisan tersebut telah masuk dalam laporan SPT pewaris, makan
akan menjadi patokan bahwa segala kewajiban perpajakan atas warisan tersebut
telah terlaksana. Sudah menjadi hal umum jika wajib pajak yang melaporkan hartanya
dengan lonjakan yang signifikan akan memunculkan potensi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) sesuai dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 2 Ayat 4.a. Pada pasal tersebut
menyatakan bawah kewajiban pajak sudah ada sejak subjek dan objeknya telah
sesuai dengan undang-undang perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun semenjak
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diterbitkan.
Jika kewajiban
perpajakan atas harta warisan ternyata belum terlaksana sehingga memang belum
terlaporkan dalam SPT pewaris, maka kewajiban perpajakan akan beralih kepada
ahli waris. Hal ini yang menjadikan dasar jika warisan juga bisa menjadi objek
pajak. Jika ingin menjadikan warisan tersebut ke dalam bagian bukan objek pajak
bagi ahli waris, sebaiknya sebagai pewaris harus menyelesaikan kewajiban
perpajakannya atas harta yang akan diwariskan tersebut.
Jika kita
pahami, sebenarnya ketentuan ini ingin menunjukan bahwa segala hal memang
terkena pajak. Hanya waktu pengenaan pajaknya yang berbeda-beda dan berapa kali
pajak tersebut akan dikenakan. Kita tarik ke harta yang kita miliki, dimana
sudah jelas ada sumber penghasilan yang menjadi dasar kita memperoleh harta
tersebut. Dari sisi perpajakan, apakah penghasilan tersebut sudah dikenakan
pajak penghasilan. Jika pertama kali kita membuat NPWP, kita akan melaporkan
harta pertama kita dan sudah jelas penghasilan kita yang terlapor. Jika terdapat
ketidaksingkronan antara penghasilan dan harta yang dimiliki, makan dari pihak
perpajakan akan memunculkan SKPKB atas harta yang tidak wajar tersebut. Untuk
menghindari SKPKB tersebut, kita dapat memanfaatkan program tax amnesty.
Kembali ke topik
warisan, lalu bagaimana jika harta warisan ternyata tidak terlapor pada SPT
pewaris. Warisan tersebut tetap dapat menjadi bukan objek pajak jika
penghasilan pewaris dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sudah jelas,
jika wajib pajak dengan penghasilan di bawah PTKP tidak memiliki kewajiban
untuk dipungut atau menyetor pajak penghasilan. Pada umumnya juga wajib pajak
tersebut tidak memiliki NPWP yang berdampak pada kewajiban melaporkan SPT
mereka. Jadi seandai jika wajib pajak dengan penghasilan di bawah PTKP memiliki
warisan, maka warisan tersebut sudah jelas tidak terutang pajak dan bukan
menjadi objek pajak ketika diterima ahli waris.
Namun,
permasalahan warisan ini tidak cukup sampai di situ. Mengapa demikian? Ternyata
ada warisan yang cukup besar yang diwariskan kepada ali waris dengan penghasilan
kecil bahkan di bawah PTKP. Hal ini ditambahkan dengan program tax amnesty pemerintah yang sedang
gencar dilaksanakan. Kembali ke contoh di atas, dimana wajib pajak yang harus
mengeluarkan dana sebesar Rp 4.000.000,00 (2% dari Rp 200.000.000,00) sedangkan
per bulan penghasilannya hanya sebesar Rp 3.500.000,00. Melihat ini saja,
penghasilannya sebulan tidak cukup untuk menutup biaya tebusan tax amnesty dan belum termasuk biaya
hidup. Oleh karena itu, Dirjen Pajak mengeluarkan PER-11/PJ/2016 yang mengatur
pelaksanaan lebih lanjut program tax
amnesty.
Berdasarkan
PER-11/PJ/2016 dapat kita lihat terdapat ketentuan tambahan mengenai warisan
yang bukan merupakan objek pengampunan pajak. Ketentuan pertama dimana warisan
yang diterima oleh ahli waris dengan penghasilan kurang dari PTKP, maka warisan
tersebut tidak lagi menjadi objek pengampunan pajak pajak (pada pasal 2 ayat 2).
Tapi kita harus mencermati betul mengenai peraturan pelaksanaan lanjutan ini.
Jika kita pahami, peraturan ini menunjukan pemerintah memberikan kemudahan
dalam aliran keuangan yang dimiliki wajib pajak dari penghasilan terhadap harta
warisan yang diterima. Jadi ada 2 (dua) konsep yang sebaiknya jangan kita
abaikan yaitu "bukan objek pajak penghasilan" dan "bukan objek
pengampunan pajak".
Pendapatan
penulis, terdapat gap yang harus
dicermati dari peraturan tentang warisan "bukan objek pajak penghasilan"
dengan warisan "bukan objek pengampunan pajak". Gap ini pada satu titik dimana harta yang diwariskan tidak terlapor
NPWP pewaris dalam arti pajak tidak punya data tentang harta warisan tersebut.
Pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No SE-20/PJ/2015 menjelaskan bawa
warisan tidak terlapor di NPWP pewaris tetap masuk dalam kelompok bukan objek
pajak penghasilan dengan titik poin dimana "pewaris" sendiri memiliki
penghasilan di bawah PTKP. Sedangkan, pada PER-11/PJ/2016 menjelaskan bawa
warisan tidak terlapor di NPWP pewaris tetap masuk dalam kelompok bukan objek pengampunan
pajak dengan titik poin dimana "ahli waris" sendiri memiliki
penghasilan di bawah PTKP.
Dari kedua gap di atas, maka akan ada potensi
dimana warisan yang masuk dalam kelompok bukan "objek pengampunan pajak"
karena ahli waris memiliki penghasilan di bawah PTKP, tetapi warisan tersebut
tetap menjadi "objek pajak penghasilan" karena keluar dari konsep Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak No SE-20/PJ/2015 dimana warisan tersebut tidak
terlaporn di NPWP pewaris yang memiliki penghasilan di atas PTKP.
Jika terjadi kondisi yang di atas, bagi penulis
alangkah baiknya untuk wajib pajak tersebut melakukan tax amnesty. Mengapa
demikian? Karena secara konsep objek pajak, warisan tersebut sudah keluar dari
ketentuan warisan bukan objek pajak penghasilan. Sehingga masih terdapat
kewajiban perpajakan yang terus terikat di warisan tersebut dan akan berpindah
ke ahli waris. Kita buat contoh itu warisan tanah dan bangunan yang akan
terkena tarif PPh final sebesar 5%, akan bisa kita hemat menjadi 2% ketika kita
mengikuti tax amnesty. Panjang lebar
pembahasan ini, penulis ingin berbagi opini jika kasus seperti ini akan
terjadi.
Gambar berikut akan menjelaskan yang dimaksud dengan Gap.
Sekedar mengingatkan, kembali ke wajib pajak bahwa Tax Amnesty sekali lagi merupakan "HAK". Jadi pada penjelasan harta warisan ini, hak tersebut boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. Tentu saja ada dampak-dampak yang mengikuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar