Rabu, 02 Mei 2018

Pajak Karyawan Yang Pindahan (Status Satu Pemberi Kerja)

Tahu kah kita, jika karyawan yang statusnya bekerja pada satu pemberi kerja bisa saja menjadi kurang bayar untuk status pajak tahunan. Hal ini bisa terjadi jika karyawan tersebut melakukan pindah tempat kerja. Perpindahan tempat kerja ini belum tentu antar perusahaan yang berbeda, bisa jadi juga untuk perpindahan cabang perusahaan. Bisa saja perusahaan antar cabang ini memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berbeda sehingga memiliki potensi untuk perhitungan pajak tahunan untuk karyawan menjadi kurang bayar.

Sebelum penjelasan lebih lanjut, kita pertegas dahulu yang dimaksud pajak tahunan karyawan. Pajak ini merupakan pajak yang dilaporkan karyawan secara pribadi setiap tahun pajak, untuk karyawan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi tentunya paling lambat laporanya akhir bulan Maret tahun berikutnya (Contoh untuk tahun pajak 2017, batas lapor akhir Maret 2018).

Pajak karyawan tentunya sebelum dihitung, setor (jika kurang bayar), lapor oleh karyawan sendiri, Perusahaan tentunya sudah terlebih dahulu melakukan perhitungan pajak atas penghasilan yang diberikan kepada karyawan tersebut (PPh Pasal 21 – 1721-A1). Pada umumnya, jika karyawan pemberi satu kerja melaporkan pajak tahunannya akan memiliki status NIHIL. Hal ini karena perhitungan pajak tahunan yang dihitung untuk SPT Tahunan dengan bukti potong 1721-A1 dari perusahaan memiliki jumlah yang sama.

Langsung aja contoh, berikut kasus yang memungkinkan karyawan memiliki status kurang bayar untuk perhitungan pajak penghasilan tahunan. Agar lebih langsung deg ser, kita bahas contoh paling ekstrim ya, dimana mungkin banyak masyarakat yang masih belum paham:

Dari penjelasan data di atas, masing-masing perusahaan pasti akan membuat bukti potongnya sendiri. Informasi tambahan, karyawan yang memiliki penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) berhak untuk menerima bukti potong dengan potensi perhitungan sebagai berikut:

Dari PT ABC mendapat bukti potong dengan pajak penghasilan NIHIL, dan ada kemungkinan jika PT XYZ juga memberikan bukti pajak dengan pajak penghasilan NIHIL. Hal ini bisa saja dikarenakan karyawan tidak memberikan bukti potong dari PT ABC kepada PT XYZ. Atau lebih ekstrim, karena perhitungan pajak penghasilan PPh Pasal 21 karyawan tersebut NIHIL sehingga tidak menerima bukti potong. Karena tidak menerima bukti potong, karyawan tersebut tidak melakukan laporan SPT Tahunan. Hal ini merupakan kesalahan yang harus kita ketahui dan sadari, meski sekalipun kita dapat bukti potong NIHIL, kita sebaiknya tetap melaporkan penghasilan dari dua bukti potong dalam contoh sebagai berikut:
Bisa kita lihat, meskipun dua bukti potong yang diterima semua berstatus NIHIL. Namun pada perhitungan pajak dari total penghasilan yang diterima selama satu tahun akan menghasilkan status kurang bayar.

Nah Lohhhh...yang dua bukti potong status NIHIL saja bisa jadi kurang bayar, apa lagi jika dua bukti potongnya ada pajak yang dipotong??? Sudah pasti dengan cara perhitungan kedua bukti potong tersebut akan mengakibatkan status kurang bayar

Di postingan ini, kita bahas satu metode pajak, dimana dengan kasus yang sama akan menghasilkan pajak tahunan karyawan tersebut menjadi NIHIL. Metode ini bisa dilakukan jika karyawan tersebut menerima bukti potong dari PT ABC dan memberikan foto kopiannya kepada PT XYZ. Sehingga PT XYZ memiliki data untuk kolom "Penghasilan Neto Masa Sebelumnya".  Berikut tampilan bukti potong PT ABC dan PT XYZ :

Bisa kita lihat, ketika PT XYZ memasukan data penghasilan netto masa sebelumnya dari bukti potong PT ABC berdampak adanya pajak yang dipotong atas gaji karyawan du PT XYZ. Oke,,,langsung ke perhitungan pajak tahunan yang dilaporkan karyawan sebagai berikut :

Nah, dengan bukti potong yang berbeda maka pajak tahunan yang dilaporkan karyawan tersebut menjadi status NIHIL. Pada umumnya karyawan yang hanya bekerja pada satu pemberi kerja pada bingung kalau status pajaknya kurang bayar dan ekstrimnya ada yang berpikiran pajaknya belum dibayarkan oleh Perusahaan. Jadi sebelum mengambil kesimpulan yang negatif alangkah kita perhatikan poin-poin pajaknya 

Inti gampang dari semua metode ini sebenarnya ingin menempatkan pajak sebesar Rp 1.575.000,00 dibayarkan sendiri oleh karyawan paling lambat Maret 2017 (kasus 1) atau dibayarkan oleh PT XYZ melalui aspek pajak PPh Pasal 21 (kasus 2). Karena mau kasus 1 atau kasus 2, hak karyawan tersebut bukan sebesar Rp 90.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 (PT ABC) + Rp 50.000.000,00 (PT XYZ)). Tapi tentunya hanya karyawan tersebut harus dipotong pajak sehingga sisa Rp 88.425.000,00 (Rp 90.000.000,00 (PT ABC & PT XYZ) - Rp 1.575.000,00 (pajak).

Sekali lagi kita pertegas, ini menggunakan contoh ekstrim dimana bukti potong dari dua perusahaan yang tampak memiliki status NIHIL. Dampak ini akan semakin terasa jika kedua bukti potongnya memiliki jumlah pajak yang dipotong.

Semoga informasi ini dapat membantu para pembaca. Terima Kasih.

Rabu, 13 Desember 2017

PPh Pasal 25 Wajib Pajak Badan Baru

PPh pasal 25 itu sebenarnya adalah cicilan yang kita setorkan setiap bulannya yang bisa digunakan untuk mengurangi jumlah pajak penghasilan selama satu tahun pajak. Karena yang kita bahas ini adalah badan, sudah jelas tanggal setor dan lapor untuk pajak penghasilan nya paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya. PPh pasal 25 untuk perusahaan yang sudah berjalan didasarkan dengan pajak penghasilan tahun sebelumnya kemudian dibagi 12 ( dua belas bulan untuk satu tahun masa pajak). Lalu bagai mana menghitung PPh pasal 25 untuk perusahaan yang baru saja berdiri ? Bukankah belum ada pajak penghasilan tahun lalu yang bisa dijadikan dasar perhitungannya?

Sebelum kita masuk ke perhitungan PPh pasal 25 untuk perusahaan yang baru, harus ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan agar sah perhitungan PPh pasal 25 nya. Mengapa demikian, karena adanya peraturan perpajakan PP 46 yang juga disetorkan setiap bulannya (1% dari omset per bulan). Dasar kita untuk pertimbangan ini didasarkan pada PMK No. 107/PMK.011/2017 pada pasal 2.

Kita buat penjelasan gampangnya akan topik ini. Pajak angsuran baik itu PPh Pasal 25 maupun PP 46 didasarkan karena sudah adanya aktivitas komersial (pendapatan/penjualan) di awal perusahaan berdiri. Jika ada pendapatan yang sudah diterima, maka perusahaan wajib untuk setor dan lapor pajak angsurannya. Berikut adalah beberapa poin yang perlu diperhatikan.

Poin Pertama
Pada penghasilan atau omset yang diperoleh untuk satu bulan pertama kalinya ada transaksi komersial kita setahunkan. Jika setelah disetahunkan jumlah omsetnya di bawah 4,8 miliar maka jenis pajak angsuran perusahaannya didasarkan pada PP 46 (1% dari omset setiap bulannya) yang bersifat final. Jika omset yang disetahunkan tersebut melebihi 4,8 miliar makan pajak angsurannya adalah PPh pasal 25.

Poin Kedua
Memang jika omset yang disetahunkan kurang dari 4,8 miliar tidak semata-mata langsung kita ikutkan PP 46 (1% dari omset setiap bulan). Mengapa demikian? Namanya perusahaan baru, usahakan ada proyeksi pendapatan atau omset yang dicita-citakan sampai tutup tahun pajak. Mungkin memang omset bulan pertama jika disetahunkan tidak melebihi 4,8 miliar, namun perusahaan yang meiliki progres yang masuk akan jika pada tutup tahun pajak akan memiliki omset lebih dari 4,8 miliar. Hal ini yang menggugurkan perusahaan untuk perhitungan pajak penghasilan tahunannya dari PP 46 karena pajak penghasilnnya akan dihitung seperti pada umumnya (dari laba fiskal).
Jadi jika sudah terlanjur ikut PP 46, maka kita akan direpotkan untuk pindah buku setoran pajak angsuran (1% dari omset setiap bulannya) untuk bisa mengkreditkan ke pajak penghasilan tahunannya karena secara aktual omsetnya melebihi 4,8 miliar.


Nah, itu poin-poinnya yang bisa dijadikan pertimbangannya. Sekarang bagaimana cara menghitung PPh pasal 25 untuk wajib pajak baru sebagai berikut:

Asumsi pada perhitungan ini :
  1. Tidak ada koreksi fiskal pada perhitungan labanya. Jika seandainya ada yang harus dikoreksi fiskal, maka pada perhitungan laba per bulannya harus memasukan jumlah koreksi fiskalnya. Jadi objek dari PPh pasal 25 tentunya dari laba fiskal.
  2. Pada perhitungan di atas dengan menggunakan omset di atas 50 miliar, jadi pada perhitungan pajak penghasilan badannya dengan menggunakan tarif tunggal (25%). Jika ada omset yang di antara 4,8 miliar sampai dengan 50 miliar. Pada perhitungan pajak penghasilan badannya dengan menggunakan 2 tarif (yaitu "50%x25%" dan "25%"), maka pada perhitungan pajak PPh Pasal 25 dengan menggunakan tarif 12,5% (dari 50% x 25 %). Jadi untuk akhir tahun tetap kurang bayar sedikit.
Sekian informasinya. Terima Kasih....GBU...

Jumat, 08 September 2017

Aspek Perpajakan Bagi Penulis (Royalti)


Akhir-akhir ini sedang heboh terkait perpajakan bagi seorang penulis. Sambil mengikuti perkembangan gosip perpajakan saat ini, ada baiknya kita mempelajari aspek perpajakan yang berkaitan dengan penulis. Berbicara pajak, pasti kita harus melihat objek pajaknya. Objek pajak sudah pasti dalam bentuk penghasilan yang secara perpajakan merupakan peningkatan nilai ekonomis yang dimiliki Wajib Pajak. Beberapa kategori yang menjadi sumber benghasilan bagi penulis.

No
Jenis Penghasilan
Aspek Perpajakan
Tarif
1
Penjualan Buku (Hasil Karya)
Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Tarif Progresif
2
Royalti (Terkait HAKI)
Pajak Penghasilan Pasal 23
15%
3
Gaji (Jika sebagai karyawan)
Pajak Penghasilan PPh 21
Tarif Progresif

Penulis yang bekerja sebagai karyawan dimana menerima upah dari pemberi kerja tentu pajak penghasilan pasal 21 sudah menjadi yang dipotong dari penghasilannya. Untuk penjualan buku yang merupakan hasil karya sama saja dengan perhitungan pajak setahun atas penghasilan selama satu tahun pajak. Kedua hak ini sudah sering pembahasannya sampai beberapa orang tertarik, kenapa pajak royalty jadi bermasalah bagi beberapa orang.

Terdapat beberapa kemungkinan yang menjadi bahan pembahasan kali ini terkait royalti. Tapi yang jelas, mau itu royalti, penjualan buku, dan gaji akan tetap dihitung ulang pajak setahunnya yang akan dilaporkan setiap tahunnya (paling lambat akhir maret – Wajib Pajak Orang Pribadi). Kita tidak membahas apa yang menjadikan pajak royalti menjadi momok bagi penulis. Kita hanya membahas aspek perpajakan nya.

Pertama yang harus kita ingat bahwa pajak penghasilan 23 bisa digunakan untuk mengkreditkan pajak penghasilan tahunan wajib pajak. Bagi wajib pajak orang pribadi, hal ini memiliki potensi untuk lebih bayar. Potensi pertama dikarenakan adanya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi penghasilan tahunan wajib pajak orang pribadi. Pada sisi lain, pajak penghasilan pasal 23 tidak mengenal yang namanya PTKP tersebut. Berapa yang menjadi nilai penghasilan (royalti), itulah menjadi dasar perhitungan pajak penghasilan pasal 23 (tariff 15%).

Berikut adalah tabel aspek perpajakan royalti bagi penulis untuk melihat lebih atau kurang bayarnya pajak tahunan: 

Dari analisis di atas, jika seandainya hanya royalti yang menjadi dasar penghasilan bagi penulis. Dapat kita lihat, dari semua tarif progresif sampai dengan penghasilan Rp 4.800.000.000,00 masih lebih bayar. Jika masalah lebih bayar ini menjadi momok, berati harus ditambah penghasilannya diluar dari royalti seperti penjualan buku. Dengan demikian maka pajak penghasilannya menjadi lebih bayar dan bisa disetor ke nagara. hehehehehe. Kalo tidak bisa, coba aja diskusikan terkait Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 23 dari KPP. Sapa tahu bisa untuk menghindari lebih bayar. 

Semoga Bermanfaat

Rabu, 16 Agustus 2017

Surat Kuasa dan Surat Penunjukan (Pelaporan SPT)

Kali ini akan membahas terkait Surat Kuasa dan Surat Penunjukan yang sebenarnya sudah diatur di PMK No 229/PMK.03/2014. Namun, ketentuannya pelaksaanya baru keluar tanggal 31 Januari 2017 dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No 2/PJ/2017. Berdasarkan pengalaman Penulis yang sudah terlambat mengikuti perkembangan peraturan perpajakan (banyak tugas brow, hehehe). Terakhir kali ke KPP untuk lapor SPT, diwajibkan untuk memiliki Surat Penunjukan. Nah, mari kita sedikit kupas peraturan ini.

Inti dari Surat Kuasa adalah surat yang mengalihkan beberapa jenis hak dan kewajiban perpajakan kepada orang yang ditunjuk. Pihak yang dapat ditunjuk tersebut bisa konsultan pajak atau karyawan dari Wajib Pajak sendiri. Syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang ditunjuk tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Menguasai ketentuan peraturan perundang-udangan di bidang perpajakan.
  2. Memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa.
  3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP)
  4. Telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk penyampaikan SPT PPh, dan
  5. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindakan pidana di bidang perpajakan.


Syarat utama bagi pihak yang telah diberi kuasa adalah “Menguasai ketentuan peraturan perundang-udangan di bidang perpajakan”. Bagi konsultan pajak, syarat ini dipenuhi dengan surat izin praktek konsultan pajak yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk dan Surat Pernyataan sebagai konsultan pajak. Bagi karyawan Wajib Pajak sendiri, harus menyertakan beberapa persyaratan sebagai berikut:
Sertifikat brevet di bidang perpajakang yang diterbitkan oleh Lembaga pendidikan kursus brevet pajak.
Ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, minimal tingkat Diploma III, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta dengan status terakreditasi A, atau
Sertifikat konsultan pajak yang diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak

Surat Kuasa yang dibuat oleh Wajib Pajak hanya untuk 1 (satu) orang dan 1 (satu) pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Kuasa yang diberikan juga tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Namun, dalam pelaksanaan pelaporan SPT baik masa dan tahunan dapat diperbantukan oleh karyawan Wajib Pajak  atau pihak lain dengan membuat Surat Penunjukan. Jadi jika ada orang yang lapor SPT di KPP terdaftar, namun yang melaporkan tidak yang bertanda tangan di SPT tersebut harus membawa Surat Penunjukan.

Adapun Surat Kuasa yang diberikan, terdapat beberapa hak dan kewajiban yang tidak boleh dilakukan kecuali  Wajib Pajak sendiri sebagai berikut:
  1. Kewajiban mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak orang pribadi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
  2. Permintaan dan/atau pencabutan Sertifikat Elektronik
  3. Permohonan aktivasi EFIN
  4. Penyampaian pengungkapan ketidakwajaran perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 UU KUP dan/atau proses penyelesaiannya.
  5. Permohonan untuk dapat dimintakan penghentian penyidikan atau kepentingan penerimaan Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44B UU KUP dan/atau proses penyelesaiannya.
  6. Pelaksaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu lainnya yang berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dapat dikuasai.



Semoga bermanfaat cuy…

Jumat, 19 Mei 2017

Perhitungan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan



Kali ini akan dibahas secara umum terkait perhitungan pajak penghasilan untuk wajib pajak badan. Terdapat beberapa kondisi yang mampu mempengaruhi bagaimana cara menghitung pajak penghasilan badan. Beberapa kondisi yang perlu diperhatikan mulai dari usaha yang dilakukan oleh wajib pajak tersebut dan jumlah penghasilan atau omset usaha yang diperolehnya.

1. Pajak Penghasilan PP 46
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013, terdapat kondisi yang akan mengikat wajib pajak untuk menghitung pajak penghasilannya sesuai peraturan ini. Kondisi yang paling utama yang harus kita pegang terkait peraturan ini bahwa wajib pajak memiliki usaha yang bukan pekerjaan bebas dan memiliki omset usaha per tahun pajak tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00. Kondisi lainnya bawah wajib pajak memiliki penghasilan dari usaha normal yang tidak dipotong pajak penghasilan final (PPh Pasal 4 ayat 2). Jadi jika penghasilan utamanya sudah dikenakan pajak penghasilan final, maka peraturan ini tidak berlaku untuk perhitungan pajak penghasilannya. Selain melihat objek pajaknya (penghasilan) peraturan ini juga dikondisikan untuk wajib pajak memiliki tempat usaha yang tidak dapat dibongkar pasang.

Pajak penghasilan sesuai dengan PP 46 ini dihitung dengan tarif 1% dan dasar pengenaan pajak penghasilnnya dari omset per bulannya. Setiap bulan, wajib pajak diharuskan untuk melakukan perhitungan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilannya. Metode administrasi perpajakannya dipersamakan dengan pajak penghasilan yang bersifat final. Berikut contoh perhitungan pajak penghasilan sesuai dengan PP 46 :
Bulan
Omset
Tariff
PPh (PP 46)
Januari
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
Februari
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
Maret
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
April
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
Mei
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
Juni
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
Juli
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
Agustus
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
September
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
Oktober
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
November
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
Desember
Rp    250.000.000,00
1%
Rp   2.500.000,00
Jumlah
Rp 3.000.000.000,00
1%
Rp 30.000.000,00

Dari perhitungan di atas, setiap bulannya perusahaan diwajibkan untuk membayar pajak penghasilan sebesar Rp 2.500.000,00 (dengan asumsi omset setiap bulannya kebetulan sama ya). Jika wajib pajak memiliki rincian laba rugi sebagai berikut:
Penjualan Barang

Rp 3.000.000.000,00
Biaya :


Biaya Gaji
Rp 1.000.000.000,00

Biaya Transport
Rp    250.000.000,00

Biaya Kantor
Rp    250.000.000,00

Biaya Umum
Rp    500.000.000,00

Jumlah

Rp 2.000.000.000,00
Laba Komersial

Rp 1.000.000.000,00

Maka Perhitungan Laba Fiskal Perusahaan sebagai berikut :
Laba Komersial

 Rp 1.000.000.000,00
Koreksi Fiskal Negatif :


-Penghasilan dipotong PPh Final
(Rp 3.000.000.000,00)

Koreksi Fiskal Positif :


-Beban penunjang penghasilan yang dipotong PPh Final
 Rp 2.000.000.000,00

Jumlah Koreksi Fiskal

(Rp 1.000.000.000,00)
Laba Kena Pajak (Fiskal)

                 NIHIL

2. Pajak Penghasilan Final
Kondisi ini hampir sama jika wajib pajak dengan penghasilan yang sudah dipotong pajak penghasilan final. Karena pajak penghasilan yang diperhitungkan sesuai dengan PP 46 juga bersifat final. Yang membedakan hanya tarif pajak penghasilan badannya saja, kita kasih contoh misalnya wajib pajak yang penghasilannya merupakan pendapatan sewa bangunan yang sudah dikenakan tarif pajak penghasilan final sebesar 10%. Jadi tidak dikanakan lagi untuk setor 1% setiap bulannya. Perhitungan pajak penghasilan badan yang harus disetor wajib pajak dengan penghasilan sewa bangunan sebagai berikut:
Bulan
Omset
Tariff
PPh (PP 46)
Januari
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
Februari
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
Maret
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
April
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
Mei
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
Juni
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
Juli
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
Agustus
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
September
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
Oktober
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
November
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
Desember
Rp    250.000.000,00
10%
Rp   25.000.000,00
Jumlah
Rp 3.000.000.000,00
10%
Rp 300.000.000,00

3. Pajak Penghasilan Tidak Final
OMSET TIDAK MELEBIHI RP 4.800.000.000,00
Pajak penghasilan tidak final ini merupakan pajak penghasilan yang paling umum kita temukan. Untuk wajib pajak yang memiliki omset pertahun tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 diwajibkan untuk tidak menggunakan perhitungan pajak penghasilannya sesuai dengan PP 46 dimana wajib pajak tersebut bergerak di bidang usaha pekerjaan bebas. Sesuai dengan ketentuan perpajakan, bahwa tarif pajak penghasilan bada merupakan tarif tunggal sebesar 25%. Hanya saja untuk wajib pajak dengan bidang usaha pekerjaan bebas dengan omset tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 dikenakan fasilitas tarif 50%. Hal ini yang menjadikan dasar beberapa kalangan berkata tarif 12,5% yang merupakan 50% dari tarif 25%.
Dari contoh di atas, maka tidak perlu adanya koreksi fiskal untuk penghasilannya karena bukan objek pajak penghasilan final dan biayanya diperkenankan untuk pengurang penghasilan kena pajak sehinga laba komersial sama dengan laba fiskal. Oleh karena itu, perhitungan pajak penghasilannya sebagai berikut :
Pajak Penghasilan Badan
=
50% x 25% x Rp 1.000.000.000,00

=
12,5 % x Rp 1.000.000.000,00

=
Rp 125.000.000,00

OMSET ANTARA Rp 4.800.000.000,00 DAN Rp 50.000.000.000,00
Kondisi kedua sesuai dengan judulnya dan yang jelas juga tidak dikenakan pajak penghasilan final sebelumnya. Ketentuan ini juga sudah jauh dari PP 46, jadi jangan disangkut pautkan ya hanya karena ada perhitungan pajak untuk omset dibawah Rp 4.800.000.000,00 serta tidak terikat bentuk usahanya pekerjaan bebas atau tidak. Berikut contoh laporan keuangannya dengan ketentuan laba komersial sama dengan laba fiskal karena tidak ada koreksi fiskal :
Penjualan Barang

Rp 30.000.000.000,00
Biaya :


Biaya Gaji
Rp 10.000.000.000,00

Biaya Transport
Rp   2.500.000.000,00

Biaya Kantor
Rp   2.500.000.000,00

Biaya Umum
Rp   5.000.000.000,00

Jumlah

Rp   2.000.000.000,00
Laba Komersial

Rp 28.000.000.000,00

Contohnya ektrim banget ya, dengan biaya Rp 2.000.000.000,00 bisa memperoleh penghasilan Rp 30.000.000.000,00. Tapi tidak masalah, yang penting tahu bagaimana mengitung pajak penghasilannya. Pajak penghasilan badannya dihitung dengan cara sebagai berikut :
Objek PPh dengan Tarif =
Rp 4.800.000.000,00
x Laba Kena Pajak (Fiskal)
Omset Wajib Pajak

I
Rp   4.800.000.000,00
x Rp 28.000.000.000,00
=
Rp   4.480.000.000,00

Rp 30.000.000.000,00
II
Rp 28.000.000.000,00 – (
Rp   4.800.000.000,00
x Rp 28.000.000.000,00) =
Rp 23.520.000.000,00

Rp 30.000.000.000,00



Jumlah
Rp 28.000.000.000,00
Perhitungan pajak penghasilan
I
Rp   4.480.000.000,00
x 25% x 50%
= Rp    560.000.000,00

II
Rp 23.520.000.000,00
x 25%
= Rp 5.880.000.000,00


Pajak Penghasilan Badan
= Rp 6.440.000.000,00


OMSET MELEBIHI Rp 50.000.000.000,00
Untuk Omset yang melebihi Rp 50.000.000.000,00, maka semua laba kena pajak nya dikalikan satu tarif sebesar 25%. Jadi, katakanlah total laba fiskalnya sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas omset Rp 65.000.000.000,00. Maka pajak penghasilan badannya dihitungan dengan cara 1% x Rp 1.000.000.000,00 sehingga keluar beban pajak penghasilan sebesar Rp 250.000.000,00.

Berikut penjelasan singkat secara umum perhitungan pajak penghasilan badan di luar penjelasan rinci mengenai koreksi fiskal. Semoga bermanfaat.