Kali ini akan dibahas secara umum terkait perhitungan
pajak penghasilan untuk wajib pajak badan. Terdapat beberapa kondisi yang mampu
mempengaruhi bagaimana cara menghitung pajak penghasilan badan. Beberapa
kondisi yang perlu diperhatikan mulai dari usaha yang dilakukan oleh wajib
pajak tersebut dan jumlah penghasilan atau omset usaha yang diperolehnya.
1. Pajak Penghasilan PP 46
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 46 Tahun 2013, terdapat kondisi yang akan mengikat wajib pajak untuk
menghitung pajak penghasilannya sesuai peraturan ini. Kondisi yang paling utama
yang harus kita pegang terkait peraturan ini bahwa wajib pajak memiliki usaha
yang bukan pekerjaan bebas dan
memiliki omset usaha per tahun pajak tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00.
Kondisi lainnya bawah wajib pajak memiliki penghasilan dari usaha normal yang
tidak dipotong pajak penghasilan final (PPh Pasal 4 ayat 2). Jadi jika
penghasilan utamanya sudah dikenakan pajak penghasilan final, maka peraturan
ini tidak berlaku untuk perhitungan pajak penghasilannya. Selain melihat objek
pajaknya (penghasilan) peraturan ini juga dikondisikan untuk wajib pajak
memiliki tempat usaha yang tidak dapat dibongkar pasang.
Pajak penghasilan sesuai dengan PP 46 ini dihitung dengan
tarif 1% dan dasar pengenaan pajak penghasilnnya dari omset per bulannya.
Setiap bulan, wajib pajak diharuskan untuk melakukan perhitungan, penyetoran
dan pelaporan pajak penghasilannya. Metode administrasi perpajakannya dipersamakan
dengan pajak penghasilan yang bersifat final. Berikut contoh perhitungan pajak
penghasilan sesuai dengan PP 46 :
Bulan
|
Omset
|
Tariff
|
PPh (PP 46)
|
Januari
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
Februari
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
Maret
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
April
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
Mei
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
Juni
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
Juli
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
Agustus
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
September
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
Oktober
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
November
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
Desember
|
Rp 250.000.000,00
|
1%
|
Rp 2.500.000,00
|
Jumlah
|
Rp 3.000.000.000,00
|
1%
|
Rp 30.000.000,00
|
Dari perhitungan di atas, setiap bulannya perusahaan
diwajibkan untuk membayar pajak penghasilan sebesar Rp 2.500.000,00 (dengan
asumsi omset setiap bulannya kebetulan sama ya). Jika wajib pajak memiliki
rincian laba rugi sebagai berikut:
Penjualan Barang
|
|
Rp 3.000.000.000,00
|
Biaya :
|
|
|
Biaya Gaji
|
Rp 1.000.000.000,00
|
|
Biaya Transport
|
Rp 250.000.000,00
|
|
Biaya Kantor
|
Rp
250.000.000,00
|
|
Biaya Umum
|
Rp 500.000.000,00
|
|
Jumlah
|
|
Rp 2.000.000.000,00
|
Laba Komersial
|
|
Rp 1.000.000.000,00
|
Maka Perhitungan Laba Fiskal Perusahaan sebagai berikut :
Laba Komersial
|
|
Rp 1.000.000.000,00
|
Koreksi Fiskal Negatif :
|
|
|
-Penghasilan dipotong PPh Final
|
(Rp 3.000.000.000,00)
|
|
Koreksi Fiskal Positif :
|
|
|
-Beban penunjang penghasilan yang dipotong PPh Final
|
Rp
2.000.000.000,00
|
|
Jumlah Koreksi Fiskal
|
|
(Rp 1.000.000.000,00)
|
Laba Kena Pajak (Fiskal)
|
|
NIHIL
|
2. Pajak Penghasilan Final
Kondisi ini hampir sama jika wajib pajak dengan
penghasilan yang sudah dipotong pajak penghasilan final. Karena pajak
penghasilan yang diperhitungkan sesuai dengan PP 46 juga bersifat final. Yang
membedakan hanya tarif pajak penghasilan badannya saja, kita kasih contoh
misalnya wajib pajak yang penghasilannya merupakan pendapatan sewa bangunan
yang sudah dikenakan tarif pajak penghasilan final sebesar 10%. Jadi tidak
dikanakan lagi untuk setor 1% setiap bulannya. Perhitungan pajak penghasilan
badan yang harus disetor wajib pajak dengan penghasilan sewa bangunan sebagai
berikut:
Bulan
|
Omset
|
Tariff
|
PPh (PP 46)
|
Januari
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
Februari
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
Maret
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
April
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
Mei
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
Juni
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
Juli
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
Agustus
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
September
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
Oktober
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
November
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
Desember
|
Rp 250.000.000,00
|
10%
|
Rp 25.000.000,00
|
Jumlah
|
Rp 3.000.000.000,00
|
10%
|
Rp 300.000.000,00
|
3. Pajak Penghasilan Tidak Final
OMSET TIDAK MELEBIHI RP 4.800.000.000,00
Pajak penghasilan tidak final ini merupakan pajak
penghasilan yang paling umum kita temukan. Untuk wajib pajak yang memiliki
omset pertahun tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 diwajibkan untuk tidak
menggunakan perhitungan pajak penghasilannya sesuai dengan PP 46 dimana wajib
pajak tersebut bergerak di bidang usaha pekerjaan bebas. Sesuai dengan
ketentuan perpajakan, bahwa tarif pajak penghasilan bada merupakan tarif
tunggal sebesar 25%. Hanya saja untuk wajib pajak dengan bidang usaha pekerjaan
bebas dengan omset tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 dikenakan fasilitas tarif
50%. Hal ini yang menjadikan dasar beberapa kalangan berkata tarif 12,5% yang
merupakan 50% dari tarif 25%.
Dari contoh di atas, maka tidak perlu adanya koreksi
fiskal untuk penghasilannya karena bukan objek pajak penghasilan final dan
biayanya diperkenankan untuk pengurang penghasilan kena pajak sehinga laba
komersial sama dengan laba fiskal. Oleh karena itu, perhitungan pajak
penghasilannya sebagai berikut :
Pajak Penghasilan Badan
|
=
|
50% x 25% x Rp 1.000.000.000,00
|
|
=
|
12,5 % x Rp 1.000.000.000,00
|
|
=
|
Rp 125.000.000,00
|
OMSET ANTARA Rp 4.800.000.000,00 DAN Rp 50.000.000.000,00
Kondisi kedua sesuai dengan judulnya dan yang jelas juga
tidak dikenakan pajak penghasilan final sebelumnya. Ketentuan ini juga sudah
jauh dari PP 46, jadi jangan disangkut pautkan ya hanya karena ada perhitungan
pajak untuk omset dibawah Rp 4.800.000.000,00 serta tidak terikat bentuk
usahanya pekerjaan bebas atau tidak. Berikut contoh laporan keuangannya dengan ketentuan
laba komersial sama dengan laba fiskal karena tidak ada koreksi fiskal :
Penjualan Barang
|
|
Rp 30.000.000.000,00
|
Biaya :
|
|
|
Biaya Gaji
|
Rp 10.000.000.000,00
|
|
Biaya Transport
|
Rp
2.500.000.000,00
|
|
Biaya Kantor
|
Rp
2.500.000.000,00
|
|
Biaya Umum
|
Rp
5.000.000.000,00
|
|
Jumlah
|
|
Rp 2.000.000.000,00
|
Laba Komersial
|
|
Rp 28.000.000.000,00
|
Contohnya ektrim banget ya, dengan biaya Rp
2.000.000.000,00 bisa memperoleh penghasilan Rp 30.000.000.000,00. Tapi tidak
masalah, yang penting tahu bagaimana mengitung pajak penghasilannya. Pajak
penghasilan badannya dihitung dengan cara sebagai berikut :
Objek PPh dengan Tarif =
|
Rp 4.800.000.000,00
|
x Laba Kena Pajak (Fiskal)
|
Omset Wajib Pajak
|
I
|
Rp
4.800.000.000,00
|
x Rp 28.000.000.000,00
|
=
|
Rp 4.480.000.000,00
|
|
Rp 30.000.000.000,00
|
|||
II
|
Rp 28.000.000.000,00 – (
|
Rp
4.800.000.000,00
|
x Rp 28.000.000.000,00) =
|
Rp 23.520.000.000,00
|
|
Rp 30.000.000.000,00
|
|||
|
|
|
Jumlah
|
Rp 28.000.000.000,00
|
Perhitungan pajak penghasilan
|
||||
I
|
Rp
4.480.000.000,00
|
x 25% x 50%
|
= Rp
560.000.000,00
|
|
II
|
Rp 23.520.000.000,00
|
x 25%
|
= Rp 5.880.000.000,00
|
|
|
Pajak Penghasilan Badan
|
= Rp 6.440.000.000,00
|
|
OMSET MELEBIHI Rp 50.000.000.000,00
Untuk Omset yang melebihi Rp 50.000.000.000,00, maka
semua laba kena pajak nya dikalikan satu tarif sebesar 25%. Jadi, katakanlah
total laba fiskalnya sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas omset Rp
65.000.000.000,00. Maka pajak penghasilan badannya dihitungan dengan cara 1% x
Rp 1.000.000.000,00 sehingga keluar beban pajak penghasilan sebesar Rp 250.000.000,00.