Saat ini isu
perpajakan yang sedang asik dibicarakan berkaitan dengan pengampunan pajak (tax amnesty). Memang pada pembahasan
sebelumnya telah mebuka bahan mengenai tax
amnesty berdasarkan RUU Pengampunan Nasional yang keluar pada tahun 2015.
Jika kita lihat, ternyata RUU Pengampunan Nasional yang muncul pada tahun 2015
memang sangat berbeda dengan RUU Pengampunan Pajak tahun 2016 ini telah
disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Pada RUU Pengampunan Nasional jelas tampak adanya penghapusan sanksi pidana
tertentu (kecuali pidana narkotika, perdagangan manusia dan terorisme) yang
dihapuskan dan tidak dimunculkan pada pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2016 tentang Pengampunan Pajak. Tapi penulisan kali ini tidak membahas
perbandingan RUU Pengampunan Nasional 2015 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2016. Karena tentunya banyak aspek yang berbeda dari keduanya. Tapi yang jelas
pasti bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah
sah berlaku saat ini.
Sebelum masuk
lebih dalam, kita harus mengetahui sebenarnya apa itu Pengampunan Pajak? Jika
kita cermati di Undang-Undang tersebut, kita dapat mendefinisikan secara lebih
mudah bahwa Pengampunan Pajak adalah bentuk penghapusan pajak yang seharusnya terhutang
(dibayarkan) beserta sanksi pajak yang mengikatnya. Sanksi yang mengikat dalam
hal ini adalah sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam bidang perpajakan.
Sanksi administrasi muncul sebagai akibat pajak yang seharusnya dibayar
ternyata terlambat untuk dibayarkan (ya karna memang tidak pernah dibayar).
Sebagai ganti dari fasilitas pengampunan pajak tersebut, wajib pajak harus
membayar uang tebusa dengan kepada negera.
Jika kita
berbicara mengenai perpajakan, cara paling mudah untuk memahaminya adalah
dengan cara mempelajari objek pajak dan subjek pajaknya. Objek dari pengampunan
pajak adalah pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM). Ketiga jenis objek pajak yang dihapuskan
ini terikat pada harta yang tidak dilaporkan kepada KPP sampai dengan SPT
Tahunan Pajak 2015. Sebagai ganti penghapusan ketiga jenis pajak tersebut beserta
sanki dalam bidang perpajakannya, maka wajib pajak diwajibkan untuk membayar
kepada negara dengan istilah "Uang
Tebusan" dengan dasar perhitungan tertentu. Seperti moto pajak yang
melekat pada Undang-Undang ini yaitu, "Ungkap, Tebus, Legah".
Uang tebusan
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 ini didasarkan pada
jumlah harta bersih dikalikan dengan tarif tertentu. Harta bersih disini
merupakan jumlah tambahan harta yang belum dilaporkan dikurangi jumlah hutang
yang belum terlaporkan. Hutang disini merupakan hutang yang terkait langsung
dengan perolehan harta yang belum dilaporkan. Melihat dasar pengenaan
perhitungan uang tebusan ini, sepertinya pihak pajak sedikit lebih ketat. Hal
ini dikarenakan adanya batasan jumlah hutang yang boleh digunakan masimal 75%
untuk Wajib Pajak badan dan maksimal 50% untuk Wajib Pajak orang pribadi dari
jumlah Harta tambahan.
Tarif yang
digunakan dalam perhitungan uang tebusan juga beragam macam bergantung pada
kondisi dan waktu pemanfaatan fasilitas pengampunan pajak. Pertama, terkait Harta
tambahan yang ada di dalam negera Indonesia akan dikenakan tarif perhitungan
uang tebusan sebagai berikut:
Periode Pemanfaat
|
Tarif
|
Juli
2016 - September 2016
|
2%
|
Oktober
2016 - Desember 2016
|
3%
|
Januari
2017 - Maret 2017
|
5%
|
Syarat untuk
Harta tamabahan yang ada di Indonesia tidak diperbolehkan dipindahkan ke luar
negeri dalam jangka waktu paling singkat 3 tahun. Kedua, terkait Harta tambahan
yang ada di luar negara Indonesia akan dikenakan tarif perhitungan uang tebusa
sebagai berikut:
Periode Pemanfaat
|
Tarif
|
Juli
2016 - September 2016
|
4%
|
Oktober
2016 - Desember 2016
|
6%
|
Januari
2017 - Maret 2017
|
10%
|
Namun, untuk
Harta tambahan yang ada di luar negara Indonesia yang akan dimasukan atau
diinvestasikan ke dalam Indonesia bisa dikatakan mendapat diskon 50%. Hal ini
menjadikan tarifnya sama dengan tarif Harta tambahan yang ada di dalam
Indonesia. Tentu ada syaratnya dimana harta yang masuk di Indonesia harus
diinvestasikan dengan jangka waktu paling singkat selama 3 tahun dengan jenis
investasi yang telah diatur oleh Undang-Undang Pengampunan Pajak.
No
|
Jenis
Investasi
|
2
|
Surat
Berharga Negera Republik Indonesia
|
3
|
Obligasi
Badan Usaha Milik Negara
|
4
|
Obligasi
lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah
|
5
|
Investasi
keuangan pada Bank Persepsi
|
6
|
Obligasi
perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
|
7
|
Investasi
sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Pemerintah
|
8
|
Bentuk
investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-udangan
|
Ketiga, terkait
Harta tambahan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp
4.800.000.000,00 akan menggunakan tarif yang berlaku sejak Juli 2016 sampai
dengan Maret 2017 sebagai berikut:
Jumlah Harta Tambahan
|
Tarif
|
Rp
10.000.000.000 <
|
0,5%
|
>
Rp 10.000.000.000
|
2%
|
Syarat yang
mengikat pada jenis tarif ketiga ini dimana penghasilan tersebut hanya
bersumber dari kegiatan usaha dan tidak menerima penghasilan dari pekerjaan
dalam hubungan kerja atau pekerjaan bebas.
Sebagai contoh,
berikut cara menghitung uang tebusan :
Membahas
mengenai pengampunan pajak, terdapat beberapa keuntungan yang akan diperoleh
bagi wajib pajak. Tentunya terkait penghapusan sanksi administrasi dan sanksi
pinda dalam bidang perpajakan. Namun, pada sisi lain terdapat beberapa hal yang
perlu diketahui wajib pajak mengenai syarat mengikuti pengampunan pajak ini.
Syarat ini yang bisa dikatakan sedikit kerugian yang ditanggung oleh wajib
pajak.
- Mencabut permohonan restitusi atau kompensasi pajak lebih bayar yang dimiliki oleh wajib pajak.
- Wajib pajak tidak berhak dalam mengkompensasikan kerugian fiskal yang sudah terakumulasi sampai dengan tahun pajak 2015.
- Wajib pajak mencabut permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar. (UU No 11 Tahun 2016 Pasal 8 ayat 3 poin f.3)
- Wajib pajak secara perpajakan tidak bisa melakukan amortisasi untuk harta tambahan baik dalam bentuk aset berwujud maupun aset tidak berwujud.
Wajib pajak
sebaiknya memahami betul akan beberapa hal di atas, sehingga bisa lebih bijak
dalam mengambil keputusan untuk melangkah. Pada aspek laporan keuangan,
undang-undang pengampunan pajak sudah mengatur bahwa harta tambahan yang
dilaporkan akan dimasukan sebagai saldo laba ditahan (UU No 11 Tahun 2016 Pasal
14 ayat 1). Perlakuannya hampir sama ketika melakukan revaluasi aset tetap,
dimana nilai pertambahan aset tetap masuk ke bagian neraca (ekuitas) dan bukan
sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi.